POLITIK HUKUM DAN MODIFIKASI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL

POLITIK HUKUM DAN MODIFIKASI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
ABSTRACT

ByDelfina Gusman SH,MH[1]
Political law is the national policy made by an officer or agency or a state institution or government to establish laws that good. Formation law in the political concept of law not only has a single configuration, but more. There are political configuration, there are socio-cultural configurations, there are socio-economic configuration, there are legal configuration.



PENDAHULUAN

Secara teoretikal, fungsi pembentukan hukum pada dasarnya merupakan fungsi melaksanakan perintah undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Pembentukan hukum oleh hakim dalam rangka memutuskan perkara yang sedang diperiksanya, termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan baik oleh badan eksekutif secara tersendiri maupun bersama-sama dengan badan legislatif, tidak lain sebenarnya fungsi melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang.

Pembentukan hukum dalam prinsip pembagian kekuasaan (division of powers principle) merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk membentuk hukum, baik hukum yang tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Dalam konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), fungsi ini menjadi otoritas badan legislatif saja, badan-badan kekuasaan lain tidak memiliki fungsi tersebut. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (division of powers), fungsi ini dijalankan baik oleh badan legislatif, ekskutif maupun yudikatif.

Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk mengkaji hubungan negara hukum dan pembentukan hukum, politik hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan nasional.

PEMBAHASAN

A. Negara Hukum dan Pembentukan Hukum

Pembentukan hukum dalam prinsip pembagian kekuasaan (division of powers principle) merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk membentuk hukum, baik hukum yang tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Dalam konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), fungsi ini menjadi otoritas badan legislatif saja, badan-badan kekuasaan lain tidak memiliki fungsi tersebut. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (division of powers), fungsi ini dijalankan baik oleh badan legislatif, ekskutif maupun yudikatif.

Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu bagian dari kegiatan pembentukan hukum. Menurut sifat hukum yang dibentuk, pembentukan hukum itu dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

(1) pembentukan hukum yang tertulis, berupa traktat, yurisprudensi, dan peraturan perundang-undangan; dan

(2) pembentukan hukum yang tidak tertulis, berupa, hukum adat dan hukum kebiasaan.

Dengan demikian, maka pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari pembentukan hukum yang tertulis. Dikatakan demikian, karena pembentukan hukum yang tertulis itu tidak hanya berupa pembentukan peraturan perundang-undangan saja, akan tetapi juga mencakup pembentukan traktat dan yurisprudensi.

Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi yang dapat dimiliki oleh setiap badan atau pejabat negara/pemerintahan. Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

(1) fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang daya ikat dan daya berlakunya ke dalam (internal pembentuk peraturan perundang-undangan); dan

(2) fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang daya ikat dan daya berlakunya ke dalam (internal pembentuk peraturan perundang-undangan) dan keluar (masyarakat/komunitas sasaran di luar pembentuk peraturan perundang-undangan).

C. Politik hukum peraturan perundang-undangan nasional

Pembentukan peraturan perundang-undangan secara ideal dilandasi paling tidak oleh 3 (tiga) hal, yaitu:

(1) Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik;

(2) Politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional yang baik; dan

(3) Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai.

Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep politik hukum berada dalam ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai yang berasal dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konsep politik hukum tidak hanya memiliki satu konfigurasi saja, melainkan lebih. Ada konfigurasi politik, ada konfigurasi sosio-kultural, ada konfigurasi sosial-ekonomi, ada konfigurasi hukum dan sebagainya. Konfigurasi-konfigurasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini secara teoretikal akan menghasilkan 3 (tiga) klasifikasi dasar hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu :[2]

(1) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai pelayan kekuasaan represif (law or legislation as the servant of repressive power);

(2) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (law or legislation as a differentiated institution capable of taming repression and protecting its own integrity);

(3) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (law or legislation as a facilitator or response to social needs an aspirations).

Politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional merupakan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan/lembaga negara atau pemerintahan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik. Politik hukum nasional dalam arti ini secara konstitusional dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar. Pasal 1 UUD 1945 memberikan landasan bagi konsep politik hukum (peraturan Perundang-undangan) nasional di Indonesia yang hendak diimplementasikan.

Pasal 1 UUD 1945 itu dirumuskan sebagai berikut :

(1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk republik.

(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 UUD 1945 itu, maka konsep politik hukum (peraturan Perundang-undangan) nasional kita paling tidak dilandasi oleh 3 (tiga) prinsip yang fundamental sebagai berikut:

(1) Prinsip negara hukum (welfare state);

(2) Prinsip negara kesatuan (unitary state) dengan bentuk pemerintah republik; dan

(3) Prinsip demokrasi (democracy).

Prinsip negara hukum yang dianut dalam konsep politik hukum (peraturan Perundang-undangan) nasional kita adalah prinsip welfare state. Prinsip ini dapat ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat.

‘Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu …’



Prinsip welfare state dalam Pembukaan UUD 1945 itu mengisyaratkan agar dalam pembentukan politik perundang-undangan nasional berorientasi pada tujuan untuk:

(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;

(2) memajukan kesejahteraan umum;

(3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan

(4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Prinsip negara kesatuan (unitary state) mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik perundang-undangan nasional, bingkai dan limitasinya adalah negara kesatuan, dengan bentuk pemerintahannya republik. Ini artinya, bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk harus dalam rangka mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk negara kita menurut UUD 1945 adalah negara kesatuan (bukan federal), sedangkan bentuk pemerintahan negara kita adalah republik (bukan monarchi). Maka pembentukan dan materi peraturan perundang-undangan baik di Pusat maupun Daerah tidak boleh lepas dari kedua hal tersebut.

Selanjutnya prinsip demokrasi (democracy) mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik perundang-undangan nasional, senantiasa melibatkan peran serta rakyat. Rakyat harus diberikan ruang secara demokratis untuk terlibat pada setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai pada tahap rancangan hingga pasca pengundangan. Pelibatan rakyat dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan tidak saja mencerminkan prinsip demokrasi telah dianut dalam konsep politik hukum nasional itu, akan tetapi juga memberikan indikasi terbentuknya penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka dan responsif (partisipatif), serta mengarahkan bagi terbentuknya produk hukum (peraturan perundang-undangan) yang demokratik.

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan lingkup atau lingkungan kuasa hukum, yang menurut Logemann dapat dibedakan menjadi 4 (empat) hal, yaitu:

a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebeid atau territorial sphere).

Berlakunya aturan hukum (peraturan perundang-undangan) di batasi oleh ruang atau tempat. Apakah sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau hanya berlaku untuk suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, ’daerah kekuasaan” berlakunya suatu undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu Perda hanya berlaku untuk suatu wilayah daerah tertentu.

b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebeid atau material sphere).

Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka persoalan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup materi yang diatur, apakah persoalannya adalah persoalan publik atau privat, persoalan perdata atau pidana, dan sebagainya. Materi tersebut menunjukkan lingkup masalah atau persoalan yang diatur.

c. Lingkungan kuasa orang (personengebied)

Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan orang atau penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subjek atau orang tertentu dalam peraturan perundang-undangan tersebut maka hal itu memperlihatkan adanya pembatasan mengenai orangnya. Undang-Undang tentang Pegawai Negeri, Undang-Undang tentang Tenaga Kerja, Undang-Undang tentang Peradilan Militer, dan sebagainya, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi kelompok orang yang diidentifikasi dalam peraturan perundang-undangan itu.

d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere)

Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundang-undangan berlaku, apakah berlaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu, apakah mulai berlaku sejak ditetapkan berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu peraturan hukum ditentukan oleh waktu.

D. Konflik Hukum UU Nomor 10 Tahun 2004

Peraturan perundang-undangan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan pengertian ini, maka yang disebut dengan peraturan perundang-undangan bentuknya pasti tertulis. Ia dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat secara umum. Jadi berdasarkan rumusan ketentuan ini, pembentuk peraturan perundang-undangan itu ada 2 (dua), yaitu : (1) lembaga negara; dan (2) pejabat yang berwenang.

Jika pengertian ’pejabat yang berwenang’ dapat diartikan sebagai pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki kewenangan yang sah untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan, maka pertanyaan hukumnya kemudian adalah siapa yang dimaksud dengan lembaga negara itu?

Sebelum UUD 1945 diamandemen, lembaga-lembaga negara kita menurut Sri Soemantri M., terdiri dari : Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden (dan Wakil Presiden), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).[3]

Setelah adanya perubahan (amandemen), UUD 1945 kita menurut Jimly Asshiddiqie mengenal beberapa lembaga negara, yaitu : MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, serta lembaga tambahan lain yang bersifat independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).[4]

Dengan demikian, apabila kita menggunakan pendapat Jimly Asshiddiqie untuk menjawab pertanyaan : siapakah yang dimaksud dengan lembaga negara yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan itu, maka jawabannya adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, serta lembaga tambahan lain yang bersifat independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah bahwa hanya lembaga negara saja yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia? Jawabannya jelas tidak. Di luar lembaga negara, seperti lembaga pemerintahan daerah juga memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang lazim kita kenal dengan Peraturan Daerah (Perda). Di tingkat Desa, ternyata juga ada lembaga pemerintahan desa yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan, yang lazim disebut dengan Peraturan Desa.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan, bahwa rumusan pengertian peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 itu kurang tepat. Pengertian peraturan perundang-undangan itu seharusnya juga mencakup lembaga pemerintahan, baik pusat maupun daerah, di samping lembaga negara sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia.

D. UU Nomor 10 Tahun 2004 ”Versus” UU 32 Tahun 2004

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (tentang Pemerintah Daerah) disebutkan, bahwa Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/ kota dan tugas pembantuan.[5] Selanjutnya, Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga menyatakan, bahwa :



(1) Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah.

(2) Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (cetak tebal dari penulis).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka putusan atau peraturan-peraturan di tingkat daerah berdasarkan pejabat atau badan penyelenggara pemerintahannya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

(1) Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Provinsi;

(2) Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Kabupaten/Kota; dan

(3) Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan desa.

Peraturan-peraturan atau putusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Provinsi dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

(1) Peraturan Daerah Provinsi, yang dibentuk oleh DPRD bersama dengan Gubernur;

(2) Peraturan Gubernur, yang dibentuk oleh Gubernur sebagai kepala daerah; dan

(3) Keputusan Gubernur yang dibentuk oleh Gubernur sebagai kepala daerah.

Peraturan-peraturan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Kabupaten/Kota meliputi:

(1) Peraturan Daerah Kabupaten yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten bersama dengan Bupati;

(2) Peraturan Daerah Kota yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten bersama dengan Walikota;

(3) Peraturan Bupati yang dibentuk oleh Bupati sebagai kepala daerah;

(4) Keputusan Bupati yang dibentuk oleh Bupati sebagai kepala daerah

(5) Peraturan Walikota yang dibentuk oleh Walikota sebagai kepala daerah kota; dan

(6) Keputusan Walikota yang dibentuk oleh Walikota sebagai kepala daerah kota.

Selanjutnya, peraturan-peraturan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan desa meliputi:

(1) Peraturan Desa yang dibentuk oleh Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa, atau nama lain;

(2) Peraturan Kepala Desa yang dibentuk oleh Kepala Desa; dan

(3) Keputusan Kepala Desa.

Tidak ada penjelasan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetang apa yang dimaksud dengan Keputusan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/ Walikota). Apakah keputusan ini merupakan bentuk peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking)?

Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapatlah dikemukakan, bahwa ternyata peraturan-peraturan di tingkat daerah dapat berupa Perda, dan dapat berupa Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, dan sebagainya. Pertanyaan hukumnya adalah, dimanakah letak atau kedudukan masing-masing peraturan itu dalam sistem hierarkhi menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ? Mengenai hal ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ternyata belum mengatur dengan memadai.

PENUTUP

Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari pembentukan hukum yang tertulis. Dikatakan demikian, karena pembentukan hukum yang tertulis itu tidak hanya berupa pembentukan peraturan perundang-undangan saja, akan tetapi juga mencakup pembentukan traktat dan yurisprudensi.

Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep politik hukum berada dalam ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai yang berasal dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konsep politik hukum tidak hanya memiliki satu konfigurasi saja, melainkan lebih. Ada konfigurasi politik, ada konfigurasi sosio-kultural, ada konfigurasi sosial-ekonomi, ada konfigurasi hukum dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA



Dahlan Thaib, 1993, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta, Liberty

Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia

Hasan Zaini, 1974, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung

Joeniarto, 1966, Sejarah Ketatanegaraan RI, Yogyakarta, Gajah Mada

Miriam Budiardjo, 1992, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia

Pustaka

Moh. Mahfud MD, 1993, Politik Hukum di Indonesia, Yogyakarta, LP3 ES

Padmo Wahyono, 1984, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta, Ghalia Indonesia

Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni Bandung

----------------, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan



Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas

[2] Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978, hlm. 14.

[3] Sri Soemantri M., Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawab Presiden Pasca Perubahan UUD 1945, makalah pada Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD1945, BPHN Departemen Kehakiman bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan kanwil Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, Surabaya 9 Juni 2004, hlm. 6.

[4] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH-UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 12.

[5] Lihat Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Sumber : http://fhuk.unand.ac.id/artikel/27/politik-hukum-dan-modifikasi-hukum-dalam-pembentukan-peraturan-perundang-undangan-nasional.html

0 comments:

Post a Comment