UU BHP DITINJAU DARI PERSPEKTIF POLITIK HUKUM ( SEBUAH CATATAN DAN GAGASAN)

UU BHP DITINJAU DARI PERSPEKTIF POLITIK HUKUM

( SEBUAH CATATAN DAN GAGASAN)

Oleh:

Romi, S.H.[1] dan Delfina Gusman, S.H., M.H.[2]

ABSTRACT

The effort of educational system reformation cannot be carried out unfocusedly and without compromising to our heart. Whereas it should refer to any provision to be manifested in the form of prevailing rule and regulation. The ratification of act to education law institute represents part of the reformation effort for education line. It produced any conflict among society, because some of article from the related rule assumed is invalid of ideology and contrast with constitution of 1945. For example: The Article of non profit company versus educational commercialization, the article about non profit versus taxation. The crucial articles is assumed of people as repressive or burdening to people. The solution of them are to review the related articles from political perspective view of law, during the execution will continue to be performed the best accomplishment for the shake of producing the responsive of rule to education law institute

Key words : education law institute, law politics, non profit

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Permasalahan

Pendidikan memiliki peran amat penting untuk membangun peradaban bangsa sebesar Indonesia. Pendidikan merupakan sarana efektif untuk meningkatkan kecerdasan warga negara dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kesejahteraan umat manusia. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional dari bangsa ini adalah mencerdaskan bangsa.[3]

Agar bangsa ini mampu bersaing dalam peraturan global dan mencapai kemandirian di masa mendatang, pemerintah harus memiliki kemauan politik (political will) yang kuat dalam melakukan reformasi pengelolaan pendidikan. Keberhasilan reformasi dalam pengelolaan pendidikan secara nasional diharapkan akan mampu mendorong keberhasilan reformasi dibidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya, karena melalui pengelolaan pendidikan yang bermutu dan berkualitas akan lahir sumber daya manusia yang unggul dan siap berkompetisi.

Upaya reformasi sistem pendidikan tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan sekehendak hati. Melainkan harus berpedoman pada seperangkat aturan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan yang jelas (rule & regulation), yang dirancang berdasarkan pendekatan sistemik dan kesadaran rasional demi kebaikan serta kepentingan orang banyak. Kita pun mesti tetap berpegang pada prinsip demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.[4]

Salah satu upaya awal pemerintah dalam reformasi pendidikan adalah melahirkan UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ( UU Sisdiknas). Dalam konsideran UU tersebut dikatakan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.[5]

Lebih lanjut, tanggal 17 Desember 2008 pemerintah kembali mengesahkan aturan hukum baru yaitu UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, yang lebih dikenal dengan UU BHP. Pembentukan UU ini merupakan amanat dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas:

“Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Ketentuan mengenai BHP lebih lanjut akan diatur dengan undang-undang.

Kehadiran UU BHP menambah daftar UU yang ditolak masyarakat atau menimbulkan kontroversial. Maraknya aksi demo mahasiswa menolak UU BHP ini, dinilai karena proses pembentukannya kurang memerhatikan apa yang hidup dalam masyarakat dan kurang memerhatikan kondisi sosial psikologis budaya masyarakat.

Mengutip pendapat pakar hukum tata negara dari UGM, Prof. Sudjito, UU BHP dan sejumlah produk hukum pasca reformasi mengandung cacat ideologis. Padahal, pada awal reformasi ada tekad untuk menciptakan produk hukum yng didasarkan atas nilai-nilai luhur bangsa yang bersumber dari Pancasila. UU BHP tidak selaras dengan ideologi bangsa, dengan mengabaikan kondisi riil masyarakat dan mengatur lembaga pendidikan ibarat usaha bisnis.[6]

Pemerintah sedang bermain api dengan mengesahkan UU BHP. Pasca pengesahan, timbul kemungkinan-kemungkinan, terutama akan adanya kekhawatiran bila biaya pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) mahal merupakan hal wajar. Mengingat, beberapa PT ternama yang terlebih dulu di-BHP-kan seperti : UI, UGM, ITB, kini makin sulit diakses wong cilik. Otonomi kampus akibat kebijakan BHP menimbulkan persoalan krusial dalam dunia pendidikan.

Penolakan terhadap UU BHP merupakan salah satu gambaran produk hukum Indonesia pasca reformasi masih dianggap belum responsif atau memenuhi aspirasi masyarakat. Merujuk kembali pada tujuan awal disahkannya UU BHP oleh pemerintah sebagaimana terlihat dalam konsiderans UU ini :[7]

a. Bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar, menengah serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi;

b. Bahwa otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dapat diwujudkan, jika penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan, yang berfungsi memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada peserta didik berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan pendidikan nasional

Terlihat jelas, arah politik hukum pembentukan UU BHP adalah untuk menciptakan kemandirian dunia pendidikan demi memajukan pendidikan nasional. Namun faktanya, kehadiran UU BHP diwarnai berbagai penolakan dari beberapa kalangan yang terkait dengan dunia pendidikan. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan besar bagi kita, ”Haruskah UU BHP ditolak?”.

Memerhatikan alasan-alasan penolakan dari berbagai kalangan diantaranya pimpinan pendidikan tinggi, mahasiswa, LSM dan lainnya, maka ada beberapa pasal krusial yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi riil masyarakat. Pasal-pasal tersebut lebih mengarah kepada liberalisasi pendidikan yang berpotensi untuk mencangkokkan ideologi luar ke dalam sistem pendidikan kita. Berarti, pemerintah telah membunuh keanekaragaman inisiatif dan budaya lokal untuk mencapai kepribadian nasional dengan melalui pendidikan nasional.

Ditengah gencarnya penolakan UU BHP, timbul keinginan dari beberapa pihak untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini merupakan jalan terbaik untuk segera mengakhiri kekisruhan berkepanjangan antara masyarakat dan pemerintah. Uji materi UU BHP mengapa tidak?. Bangsa ini dengan semangat pasca reformasi tidak ingin eksis dengan produk hukum yang cacat secara ideologis, yang dijalankan dengan semangat represif dari pihak pemerintah sebaliknya rasa tertekan di pihak rakyat.

Bertitik tolak dari beberapa permasalahan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji beberapa pasal krusial atau yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Tulisan ini coba mengkritisi dan meninjaunya dari arah politik hukum khususnya dunia pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, penulis mencoba merangkum pembahasan ini dalam sebuah judul :

”UU BHP Ditinjau Dari Perspektif Politik Hukum ( Sebuah Catatan Dan Gagasan)”.



1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

Apa sajakah pasal-pasal krusial dalam UU BHP yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat?
Bagaimanakah pasal-pasal tersebut ditinjau dari perspektif politik hukum khususnya dalam dunia pendidikan?

II. PEMBAHASAN

2.1 Politik Hukum Nasional

Awal penyusunan RUU BHP sampai disahkan menjadi UU BHP tanggal 17 Desember 2008 selalu diwarnai aksi penolakan oleh berbagai kalangan. Keresahan masyarakat luas akan adanya dampak negatif dalam dunia pendidikan, khususnya liberalisasi pendidikan harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah.

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pemerintah perlu memerhatikan empat aspek agar penyusunan RUU yang diperintahkan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas sesuai dengan UUD 1945.[8] Pertama, aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban negara dan Pemerintah dalam bidang pendidikan serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan.

Kedua, aspek filosofis, yakni cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa. Ketiga, aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang yang dimaksud haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara. Keempat, aspek aspirasi masyarakat harus mendapat perhatian dalam pembentukan UU BHP agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dunia pendidikan.

Timbul pertanyaan, apakah pemerintah telah memerhatikan empat aspek yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam penyusunan RUU BHP hingga disahkan menjadi UU BHP. Faktanya, apa yang ditakutkan oleh MK mengenai penolakan terhadap UU BHP terjadi, bahkan menimbulkan kisruh yang berkepanjangan.

Masyarakat beranggapan bahwa arah politik hukum dalam dunia pendidikan yang diwujudkan dalam UU BHP tidak sesuai dengan keempat aspek tersebut, khususnya aspek aspirasi masyarakat. Pemerintah tidak melihat kondisi riil masyarakat yang kesulitan ekonomi. Dalam hal ini, Arief Sidharta menyatakan suatu tatanan hukum nasional Indonesia harus mengandung ciri:[9]

1. Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara

2. Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan

3. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi

4. Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran ( redelijkheid), rasionalitas kaidah dan rasionalitas nilai

5. Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap pengambilan putusan oleh pemerintah

6. Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

Senada dengan hal di atas adalah hasil seminar tentang hukum nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang setelah dibukukan berjudul Identitas Hukum Nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun haruslah:[10]

1. Berlandaskan Pancasila ( filosofis) dan UUD 1945 ( konstitusional)

2. Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan

Dua kutipan diatas merupakan bagaimana sebenarnya sosok” sistem hukum nasional yang dikehendaki” itu. Dalam rangka mewujudkan cita hukum ideal itu tentu tidak mudah. Diperlukan yang jelas dari politik hukum nasional dan kinerja yang sistemik dari komponen-komponen sistem hukum yang ada.

Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara ( Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara ( Republik Indonesia) yang dicita-citakakan, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 :

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

2. Memajukan kesejahteraan umum

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

Merujuk pada pengertian politik hukum nasional, jelas bahwa politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal Negara Republik Indonesia. Tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan:[11]

a. Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki

b. Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.

Jika kita melihat kembali kepada tujuan awal politik hukum nasional pembentukan UU BHP, maka tidak bisa disangkal, sebagian besar rumusan dalam UU BHP menetapkan substansi-substansi berupa langkah maju dalam menata kehidupan dan perkembangan pendidikan formal di Indonesia. Namun, selain sebagian besar langkah maju yang telah dirumuskan dalam UU BHP tersebut, masih perlu diketengahkan beberapa catatan tentang ketidaksempurnaan UU BHP tersebut.

Ketidaksempurnaan suatu produk hukum merupakan hal yang wajar, maka tidak heran munculnya pro dan kontra terhadap produk hukum tersebut. Sebagaimana yang dialami oleh UU BHP, mulai dari penyusunan sampai pengesahannya selalu menimbulkan kontroversial.

2.2 Pasal-Pasal Krusial

Pro dan Kontra akibat disahkannya UU BHP dikarenakan ada beberapa pasal yang dianggap tidak mencerminkan aspirasi masyarakat, dengan kata lain tidak responsif. Untuk itu mari kita tinjau beberapa pasal dari UU BHP yang menimbulkan kontroversi sejak disahkan oleh Presiden beberapa waktu lalu.

1. Nirlaba Profesional Vs Komersialisasi Pendidikan

Ada poin mendasar yang perlu dipahami dari muatan UU BHP ini dalam rangka reformasi penyelenggaraan pendidikan, yakni BHP badan Nirlaba yang profesional. Dikatakan nirlaba, karena dalam UU BHP terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:[12] pertama, BHP tidak boleh mengambil keuntungan (laba) dari penyelenggaraan pendidikan ( pasal 4). Seandainya BHP mendapatkan keuntungan dari hasil kegiatannya, maka keuntungan dan seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu pelayanan (pasal 37 ayat 6, pasal 38 ayat 3, pasal 42 ayat 6).

Kedua, BHP menjamin dan membantu kalangan tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan Perguruan Tinggi ( pasal 40 ayat 3). Bahkan, BHP menanggung seluruh biaya pendidikan dasar tingkat SD/MI dan SMP/MTs yang diselenggarakan oleh pemerintah (pasal 42 ayat 1). Sedangkan untuk pendidikan menengah dan perguruan tinggi, BHP menyediakan paling sedikit 20 persen peserta didik mendapatkan pendidikan gratis bagi yang tidak mampu secara ekonomi ( pasal 46 ayat 2).

Ketiga, dalam UU BHP ada ketentuan bahwa BHP wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 % dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 & dari jumlah seluruh peserta didik (pasal 46 ayat 1 dan 2).

Keempat, BHP pendidikan menengah dan pendidikan tinggi tidak boleh memungut dana berlebihan dari masyarakat, maksimal 1/3 ( satu pertiga) biaya operasional ( pasal 41 ayat 8 dan 9). Selain peserta didik yang memperoleh beasiswa, peserta didik lainnya hanya membayar sesuai dengan kemampuan pembiayaan ( pasal 41 ayat 7). Kelima, bagi BHP yang mengambil pungutan dari masyarakat lebih dari yang dibatasi, ada sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, penghentian pelayanan dari pemerintah atau pemerintah daerah, penghentian hibah, pencabutan izin. Sementara, bagi BHP yang menyalahgunakan kekayaan dan pendapatannya seperti mengambil keuntungan dari kegiatan pendidikan, maka ia akan dikenakan sanksi dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah), Pasal 63.

Pemerintah beranggapan, ketentuan pasal-pasal UU BHP tersebut menggambarkan bahwa BHP sangat menghindari terjadinya komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Hal ini tidak senada dengan yang ditulis oleh aktivis pendidikan, Darmaningtyas :[13] ”Masalah pendanaan, pendidikan hendaknya tidak dijadikan salah satu obyek komersil atau mencari keuntungan. UU BHP memang UU tentang korporasi pendidikan karena yang diatur hanya mengenai masalah tata kelola, kekayaan, pemisahan kekayaan, ketenagaan, pendanaan, tata cara investasi serta mekanisme pembubaran dan pailit dari badan hukum pendidikan.

Menurutnya, istilah-istilah yang digunakan dalam bab dan pasal dalam UU BHP ini adalah istilah yang biasa digunakan dalam korporasi, bukan di dalam dunia pendidikan. Maka wajar bila UU ini lebih cocok mengatur tentang sebuah korporasi, bukan mengatur pendidikan yang visinya mencerdaskan bagsa dan misi sosial. Sebab, UU BHP justru secara resmi mengatur aktivitas bisnis bagi BHP (Pasal 43). Ini bertentangan dengan pasal yang menyatakan BHP sifatnya nirlaba.[14]

Mengenai komersialisasi atau liberalisasi pendidikan yang dimunculkan UU BHP akhirnya potensial lebih banyak menghasilkan hal negatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bustami Rahman.[15] Bahwa petunjuk ke arah itu dapat dilihat di dalam UU BHP Bab VI tentang Pendanaan Pasal 41 ayat 4 dan 9. Pada ayat 4 intinya menyebutkan kewajiban pemerintah bersama dengan BHPP untuk menanggung paling sedikit setengah (1/2) biaya operasional. Sedangkan pada ayat 9 intinya menyebut tentang tanggungan peserta didik sebesar-besarnya sepertiga (1/3) biaya operasional.

Berdasarkan ayat 4, jika pemerintah dan BHPP mencukupi sampai 2/3 dan peserta didik membayar 1/3 dari biaya operasional, logikanya Perguruan Tinggi yang bersangkutan akan mampu beroperasi dalam standar nasional pendidikan. Namun, perlu dicermati, meskipun dikatakan bahwa paling sedikit setengah (1/2) menjadi tanggungan pemerintah, embel-embelnya tanggungan itu disebutkan bersama-sama dengan BHPP atau PT yang bersangkutan.

Apa artinya ini ? artinya bahwa PT yang bersangkutan otomatis harus mencari dana tambahan untuk kegiatan operasional mereka. Seandainya pimpinan PT bersangkutan ” gelap pikir”, tidak kreatif dan inovatif untuk menutupi margin kekurangan dana tersebut, maka secara naif ( dan ini yang dikhawatirkan oleh beberapa kalangan yang terkait dengan dunia pendidikan). PT akan ambil jalan mudah untuk meningkatkan sumbangan mahasiswa. Didalam perjalanan beberapa PT yang diujicoba beberapa tahun yang lalu, terlihat oleh mahasiswa praktik demikian ini. Akan tetapi, tidak dipungkiri, justru kehadiran UU BHP melindungi kenaikan sumbangan mahasiswa itu untuk tidak secara semena-mena.


2. BHP Nirlaba Vs Perpajakan

Pasal krusial lainnya yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat yaitu masalah perpajakan BHP. UU BHP dianggap belum konsekuen dengan prinsip nirlaba. BHP dinyatakan sebagai badan hukum nirlaba, tapi konsekuensi dalam hal perlakuan pajaknya tidak mengalami perubahan dari kondisi sebelum UU BHP.

Misalnya, pasal 38 ayat (3) menyatakan, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan wajib ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan dan digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (6) paling lambat dalam 4 (empat) tahun. Selanjutnya, pasal 38 ayat (4) menyatakan, apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan menjadi objek pajak penghasilan.

Pasal 37 ayat (6) menyatakan, kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: (a) kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran; (b) pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi; (c) peningkatan pelayanan pendidikan; dan (d) penggunaan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38 ayat (4) yang terkait dengan ayat (3) bertentangan dengan prinsip nirlaba karena kewajiban untuk mengalokasikan sisa hasil atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih masih diberi peluang boleh dilanggar setelah batas waktu empat tahun dilampaui dengan ketentuan harus menjadi objek pajak. Seharusnya, opsi untuk tidak mengalokasikan sesuai ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (6) tidak perlu ada. Jika seluruh BHP (badan hukum pendidikan) merupakan badan hukum nirlaba, seharusnya ia dibebaskan dari beban pajak yang harus ditanggung.

Ketentuan tersebut tidak memberi insentif bagi BHP membentuk endowment fund, padahal sangat dibutuhkan BHP dalam rangka menangkal dan berjaga-jaga terhadap kejadian-kejadian yang tidak diharapkan pada masa mendatang. Secara mendasar, UU BHP menetapkan BHP merupakan badan hukum nirlaba yang konsekuesinya harus lugas. Seluruh pertambahan kekayaannya tidak pada tempatnya dinyatakan sebagai objek pajak. Jadi, tidak pada tempatnya kegiatan yang membantu meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan formal dikenai pajak, seharusnya justru mendapatkan alokasi pengeluaran APBN di mata anggaran pendidikan.[16]

Di banyak negara, perpajakan atas lembaga nirlaba bervariasi. Umumnya, negara yang sadar belum mampu menjalankan tanggung jawabnya sehingga sebagian fungsi pendidikan dijalankan masyarakat, ada keinginan kuat memberikan kemudahan dan mengurangi pungutan. Di Denmark, misalnya, organisasi pendidikan yang bersifat nirlaba dikenai pajak. Namun, pemerintah mengucurkan anggaran besar untuk pendidikan. Pemungutan pajak juga tidak memberatkan dan digunakan untuk kepentingan lain.[17]


3. UU BHP Vs SDM Pendidik

BHP mengatur sumber daya manusia pendidikan yang terdiri atas pendidik dan tenaga kependidikan, yang dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai badan hukum pendidikan dengan membuat perjanjian kerja (pasal 55). Sehingga, status kepegawaian dalam BHP menjadi jelas dan ada kontrak untuk mencapai kinerja pendidikan.

Keberadaan pasal 55 juga menjadi pasal krusial bagi beberapa kalangan, khususnya bagi pendidik dan tenaga kependidikan. Pendapat pro menyatakan, bahwa pasal ini justru dapat memacu kinerja dan profesionalisme guru, khususnya pegawai negeri sipil. Kewajiban tiap BHP membuat perjanjian kerja baru dengan guru mendorong guru bekerja lebih profesional untuk tetap bisa dipekerjakan.Ketentuan ini sekaligus menjadi sistem kontrol, alat evaluasi untuk mendorong guru lebih bermutu. "Kalau mereka tidak mau terancam (tidak dipekerjakan), ya harus bisa bekerja lebih baik".

Sebaliknya, pendapat yang kontra terhadap pasal 55, justru menganggap cenderung memperlemah profesi pendidik. Makna guru direduksi menjadi sekedar pekerjaan, bukan profesi. Sistem kontrak yang biasa ada di perburuhan pun bakal kian legal diterapkan.

Menurut Darmaningtyas, pengamat pendidikan, ketentuan UU ini telah mereduksi makna guru dan sekolah. Menjadikannya sekadar institusi (orang) yang bisa melakukan perbuatan hukum. Bukan sebagai suatu komunitas tempat berlangsungnya proses budaya dan pemanusiaan manusia dimana guru ambil bagian sebagai pembawa lilinnya. "Jika ini dibiarkan, akan terjadi suatu praksis pendidikan yang kaku". [18]

2.3 Catatan dan Gagasan Kedepan UU BHP Dari Perspektif Politik Hukum

Bertolak dari beberapa pasal krusial di atas, tampaklah bahwa kontroversi di tengah masyarakat tentang kehadiran UU BHP merupakan hal yang wajar. Hal ini dikarenakan ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, penulis berusaha melakukan beberapa catatan dan gagasan kedepan terhadap UU BHP, khususnya pasal-pasal kontroversial.

Sebenarnya dukungan dan penolakan terhadap suatu produk hukum bukan hanya terjadi pada UU BHP, melainkan hampir keseluruhan produk hukum di Indonesia mengalaminya, seperti : UU Pornografi, UU Mahkamah Agung. Mengutip pendapat Moh. Mahfud MD, bahwa konfigurasi politik suatu negara berpengaruh kuat terhadap produk hukumnya.[19]

Ia membagi konfigurasi politik menjadi dua yaitu demokratis dan otoriter. Konfigurasi Demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka peluang bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Konfigurasi otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara.[20]

Lebih lanjut, kedua konfigurasi politik ini memberikan pengaruh terhadap produk hukum yang dilahirkan oleh negara. Konfigurasi politik demokratis akan melahirkan produk hukum responsif dan konfigurasi politik otoriter akan melahirkan produk hukum represif. Hukum responsif adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Hukum represif adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik.[21]

Kembali pada UU BHP, khususnya beberapa pasal yang menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat, penulis tidak dapat langsung menarik kesimpulan, bahwa pasal-pasal tersebut tidak responsif. Apakah penolakan oleh beberapa kalangan dapat dijadikan indikatornya?

Aneh memang, proses pembentukan UU BHP dari perspektif politik hukum telah berjalan demokratis. Dimana, UU BHP ini telah dibahas dalam berbagai kesempatan dengan berbagai kalangan yang terkait . Logikanya, seharusnya pengesahan UU BHP ini tidak akan terjadi penolakan, karena telah bersifat responsif. Namun faktanya, UU BHP justru dianggap produk hukum represif atau menekan rakyat.

Dalam hal ini penulis mengkajinya bukan dari politik hukum pembentukannya, melainkan dari hasil konkritnya yaitu pasal-pasal UU BHP tersebut, khususnya pasal kontroversial. Penulis berpendapat, permasalahan utama munculnya penolakan UU BHP adalah ketidakseluruhan kalangan khususnya masyarakat yang mengetahui pasal-pasal UU BHP tersebut, mereka hanya mendengar isu yang simpang siur tentang pengesahan UU BHP akan meningkatkan biaya operasional pendidikan.

Berdasarkan pasal-pasal krusial yang diuraikan sebelumnya, dimulai dari pendapat yang pro dan kontra, maka penulis berpendapat kehadiran UU BHP tidak perlu ditolak, melainkan hanya diberikan catatan dan gagasan demi penyempurnaan UU BHP tersebut. Seiring dengan pelaksanaannya nanti, akan kita temukan kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU BHP dan bisa dilakukan revisi.

UU BHP disahkan oleh pemerintah dengan tujuan memberi peluang otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah serta otonomi pada pendidikan tinggi ( pasal 3). Pasal 3 ini telah sesuai dengan arah kebijakan politik hukum Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, namun strategi yang ditempuh oleh pemerintah pada pasal berikutnya justru belum bisa meyakinkan beberapa kalangan akan bisa terlaksana. ( lihat uraian pasal-pasal krusial).

Pasal 55 tentang SDM Pendidikan juga ditakuti oleh beberapa kalangan khususnya pendidik mengenai status mereka nantinya. Arah kebijakan politik hukum ingin memperjelas status kepegawaian untuk mencapai kinerja pendidikan. BHP dituntut dapat menjamin mutu dan kualitas pendidikan serta mampu memberikan pelayanan terbaik pada pemangku kepentingan pendidikan melalui prinsip mutu dan layanan prima.

Kita harus menyadari, UU bukanlah suatu yang sakral, yang tidak boleh diubah. UU yang baik adalah UU yang sesuai dengan kondisi sosial psikologis budaya masyarakat. Selanjutnya, perlu disadari UU akan berjalan efektif, jika masyarakat tidak merasa tertekan akan kehadiran UU tersebut.

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasal-pasal krusial UU BHP meliputi : Pasal tentang pendanaan BHP, BHP dikaitkan dengan perpajakan dan status hukum pendidik dan tenaga kependidikan. Ketentuan ini dianggap pasal yang menakutkan bagi beberapa kalangan, karena cacat ideologis atau bertentangan dengan kondisi sosial psikologis budaya masyarakat. Misal : Pasal pendanaan, diperkirakan akan memberikan efek negatif dengan biaya pendidikan yang mahal.

2. Arah kebijakan politik hukum pembentukan UU BHP adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini adalah tujuan mulia yang ingin diwujudkan oleh pemerintah, namun ada beberapa pasal justru menjadi bumerang oleh pemerintah sendiri. Pasal krusial tersebut dipandang sebagai pasal yang justru akan mengacaukan dunia pendidikan. Pasal krusial ini dianggap tidak responsif, melainkan represif atau menekan rakyat.


3.2 Saran

Adapun saran sebagai berikut :

1. Agar para pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung menerima kehadiran UU BHP sebagai salah satu upaya untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia. Namun, seiring pelaksanaan UU BHP tetap memberikan sebuah catatan dan gagasan kedepan demi penyempurnaannya, sehingga UU BHP menjadi produk hukum responsif.

2. Agar pemerintah tetap berupaya mau menerima kritik dan masukan dari berbagai kalangan demi penyempurnaan UU BHP khususnya dan mencerdaskan kehidupan bangsa umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta : PT. Ghalia Indonesia

---------------, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia : Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Ghalia Indonesia

Afan Gaffar, 1992, Pembangunan Hukum dan Demokrasi, dalam Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta : UU Press

Didi Nazmi, ” Undang-Undang BHP Kapitalisai Pendidikan ?” ( Suatu Catatan Kritis), Makalah sebagai pokok-pokok pikiran disampaikan sebagai masukan dalam Acara Sosialisasi UU BHP Di Universitas Andalas, 6 Januri 2009

Imam Syaukani Dan A. Ahsin Thohari, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Jayadi Damanik, et.al, 2005, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan, Komnas HAM, Jakarta

M. Solly Lubis, 1992, Serba- Serbi Politik Hukum, Bandung : Mandar Maju

Miyasto, 1997, Sistem Perpajakan Nasional dalam Era Ekonomi Global, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang

Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia

Mulyana Kusumah, 1986, Perspektif Teori Dan Kebijaksanaan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers

Philippe Nonet dan Philip Selznich, 1978, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Newyork : Harper & Row

Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung : PT. Alumni

Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Kanisius

Media Massa dan Internet

Media Indonesia, Selasa 24 Januari 2009

Media Indonesia, Sabtu 28 April 2008

Kompas, 18 Desember 2008

Kompas, Kamis 26 Februari 2009

http://www.fpks-dpr.or.id//op=isi&id=6547&kunci=26, diakses tanggal 5 Januari 2009

http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTkyODY=, diakses tanggal 4 Februari 2009

http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NjEyNjE=, diakses tanggal 17 Februari 2009

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia



[1] Dosen Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang, email: romi_law@yahoo.com

[2] Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang, email: vivin_nissa@yahoo.co.id

[3] http://www.fpks-dpr.or.id//op=isi&id=6547&kunci=26, diakses tanggal 5 Januari 2009



[4] http://www.fpks-dpr.or.id//op=isi&id=6547&kunci=26, diakses tanggal 5 Januari 2009

[5] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

[6] http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTkyODY=, diakses 5 Januari 2009

[7] Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan

[8] Media Indonesia, 2 Desember 2008

[9] Imam Syaukani dan A.Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, Hal. 70

[10] Ibid, Hal.71

[11] Ibid, Hal.59

[12] http://www.fpks-dpr.or.id/?op=isi&id=6547&kunci=26, diakses 5 januari 2009



[13] Didi Nazmi, UU BHP Kapitalisasi Pendidikan? ( Suatu Catatan Kritis), Makalah disampaikan sebagai masukan acara sosialisasi UU BHP di Lingkungan Universitas Andalas, 6 Januari 2009

[14] Ibid

[15] Ibid

[16] Kompas, 26 Februari 2009

[17] Kompas, 26 Februari 2009

[18] Didi Nazmi, Op cit

[19] Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, Hal. 25

[20] Ibid

[21] Ibid

sumber : http://fhuk.unand.ac.id/artikel/20/uu-bhp-ditinjau-dari-perspektif-politik-hukum--sebuah-catatan-dan-gagasan-.html

0 comments:

Post a Comment