Makalah-INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM YANG BERDASARKAN PANCASILA

Makalah-INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM YANG BERDASARKAN PANCASILA

Written by Prof. Dr. H. Suko Wiyono, SH, MH.
Wednesday, 21 September 2011 10:44

INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM YANG BERDASARKAN PANCASILA

The basic concept of Indonesia is a constitutional state basically can not be separated from the travel history of Indonesia before independence. The Indonesian nation is a country before independence colonized by the Dutch, the postscript is a country that adheres to the continental European legal systems. In continental European countries, the concept of state law called rechtsstaat which builds upon the elements of the protection of human rights (human rights), the separation and division of state power to ensure protection of human rights, rule of law, the administration of justice. In addition rechtsstaat concept, in countries following the Anglo-Saxon legal system, known as the concept of state law the rule of law is built upon the pillars of the supremacy of the rule of law, of equality before the law, and the guarantee of human rights protection. Pancasila is the state law the state law that was built by the Indonesian nation based on the noble values ​​of Pancasila, whose elements are not much different from the concept of state law that was built by the countries applying the law of continental Europe. This is understandable, because with the implementation of the principle of concordance, then by Indonesia itself exactly the same system of law with the state legal system that colonizeR.

Key words: Indonesia as a state, Pancasila

A. PENDAHULUAN

Mochtar Kusumaatmadja[1] mengemukakan makna terdalam dari Negara berdasarkan atas hukum adalah: “...kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum”. Konsep negara hukum tentu saja sekaligus memadukan paham kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum sebagai satu kesatuan. Untuk menelusuri konsep tentang negara hukum pada dasarnya dapat dijelaskan melalui dua aliran pemikiran, yaitu konsep rechtsstaat dan the rule of law. Untuk memahami hal itu, dapat ditelusuri sejarah perkembangan dua konsep yang berpengaruh tersebut. Konsep “rechtssaat” berasal dari Jerman dan konsep “the rule of law” berasal dari Inggris. Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada, sedangkan istilah “the rule of law” mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1855 dengan judul Introduction to the Studi of the Law of the Constitution.

Konsep rechtsstaat[2] lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga sifatnya revolusioner. Sebaliknya, konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechtsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “modern Roman law”, sedangkan konsep the rule of law bertumpu pada sistem hukum yang disebut “common Law” atau “Anglo Saxon”.

Rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuannya masing-masing mengutamakan segi yang berbeda. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan equality before The law[3] Akibat adanya perbedaan titik berat dalam pengoperasian tersebut, muncullah unsur-unsur yang berbeda antara konsep rechtsstaat dan konsep the rule of law. Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. unsur-unsur rechtsstaat :

a. adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

b. adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin perlindungan HAM,

c. pemerintahan berdasarkan peraturan,

d. adanya peradilan administrasi; dan

2. unsur-unsur the rule of law

a. adanya supremasi aturan hukum,

b. adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan

c. adanya jaminan perlindungan HAM.

Dari uraian unsur-unsur rechtsstaat maupun the rule of law tersebut nampak adanya persamaan dan perbedaan antara kedua konsep tersebut. Baik rechtsstaat maupun the rule of law selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab konsep-konsep tersebut tidak lepas dari gagasan untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian keduanya sama-sama memiliki inti upaya memberikan perlindungan pada hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar yang sekarang lebih populer dengan HAM, yang konsekuensi logisnya harus diadakan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara. Sebab dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara, pelanggaran dapat dicegah atau paling tidak dapat diminimalkan.

Di samping itu, perbedaan antara konsep rechtsstaat dan the rule of law nampak pada pelembagaan dunia peradilannya, Rechtsstaat dan the rule of law menawarkan lingkungan peradilan yang berbeda meskipun pada intinya kedua konsep tersebut menginginkan adanya perlindungan bagi hak asasi manusia melalui pelembagaan peradilan yang independen. Pada konsep rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi yang merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri, sedangkan pada konsep the rule of law tidak terdapat peradilan administrasi sebagai lingkungan yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan dalam konsep the rule of law semua orang dianggap sama kedudukannya di depan hukum, sehingga bagi warga negara maupun pemerintah harus disediakan peradilan yang sama.

Selanjutnya Philipus M. Hadjon[4] menjelaskan: “Konsep Rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “Civil Law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep “The Rule of Law“ bertumpu pada sistem hukum yang disebut “Common Law”. Karakteristik Civil Law adalah “administratif“, sedangkan karakteristik Common Law adalah “judicial “. Pembentukan hukum Civil law dilakukan melalui undang-undang dan kodifikasi sedangkan Common law melalui Preseden (Judge made law).

Meskipun konsep Rechtsstaat dan Rule Of Law setelah Perang Dunia Kedua juga sangat peduli terhadap kesejahteraan sosial, namun filosofi liberalistik individual dan kapitalistiknya tetap menonjol, karena itu tidak disenangi oleh negara-negara yang menganut paham sosialis-komunis. Negara-negara berpaham sosialis-komunis lalu mengembangkan konsep Socialist Legality, ialah Negara Hukum berwawasan sosialis-komunis untuk mewujudkan masyarakat sosialis tanpa kelas dan anti Hak Asasi Manusia. Konsekuensinya tidak ada tempat istimewa bagi individu untuk memiliki Hak Kekayaan Intelektual, semuanya harus diserahkan menjadi milik Negara.

Berkenaan dengan negara hukum ini, Daniel S. Lev[5] berpendapat bahwa negara hukum adalah suatu negara yang disandarkan pada pembagian kekuasaan yang bertujuan untuk memperlemah elit-elit politik. Pembagian kekuasaan berdasarkan ide negara hukum menjadi suatu hal yang sah (legitimate).

Dalam konsep “Negara Hukum”, eksistensi peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur fundamental bagi penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan atas hukum. Hal itu tercermin dari konsep Friedrich Julius Stahl[6] dan Zippelius[7] Menurut F.J. Stahl unsur-unsur utama negara hukum adalah:

1. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;

2. pemisahan kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias politika;

3. penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan

4. peradilan administrasi negara.

Sementara itu, Menurut Zippelius unsur-unsur negara hukum terdiri atas:

1. pemerintahan menurut hukum (rechtsmatigheid van bestuur);

2. jaminan terhadap hak-hak asasi;

3. pembagian kekuasaan; dan

4. pengawasan justisial terhadap pemerintah.

Dari unsur-unsur tersebut di atas nampak adanya perbedaan, jika Stahl menempatkan “penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur)” pada elemen yang ketiga dari konsep negara hukum, sebaliknya Zippelius menempatkannya pada unsur pertama dengan pengertian yang agak luas, ialah “penyelenggaraan pemerintahan menurut hukum (rechtsmatigheid van bestuur)”. Di sini nampak bahwa F.J. Stahl masih sangat kental terpengaruh konsepsi dari aliran legisme, yang mana aliran tersebut menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang. Oleh karena itu, salah satu unsur utama negara hukum menurut F.J. Stahl adalah penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur).

B. PEMBAHASAN

Negara Hukum Berdasarkan Pancasila

Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 18 Agustus 1945 dan pidato Iwa Koesoema Soemantri (anggota PPKI), menunjukkan bahwa UUD 1945 memang bersifat sementara. Adapun pidato tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ir. Soekarno: Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangan umum, yang singkat. Cekak aos hanya mengenai pokok-pokok saja dan tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan ini: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.

2. Iwa Koesoema Soemantri: Salah satu perubahan yang akan saya tambahkan, yang saya usulkan, yaitu tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Disini belum ada artikel tentang perubahan Undang-Undang Dasar dan itu menurut pendapat saya, masih perlu diadakan.

Dari pidato di atas nampak bahwa Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah konstitusi revolusi yang bersifat sementara dan kelak akan disusun konstitusi baru yang lebih lengkap, jika suasana telah memungkinkan. Pernyataan ketua PPKI tentang sifat sementara dari UUD 1945 ini, sejalan dengan aturan tambahan UUD 1945 naskah asli yang menyatakan:

1. Dalam Enam Bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.

2. Dalam Enam Bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.

Dari ketentuan dua ayat Aturan Tambahan UUD 1945 tersebut dapat ditarik penafsiran bahwa UUD 1945 dimaksudkan hanya berlaku untuk masa dua kali enam bulan atau setahun saja, terhitung mulai berakhirnya perang Asia Timur Raya pada tanggal 15 Agustus 1945. UUD 1945 sebagai konstitusi revolusi sering pula disebut dengan Undang-Undang Dasar kilat. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila rumusan UUD 1945 sangat singkat bila dibandingkan dengan konstitusi negara lain seperti , Malaysia, Philipina, India, Pakistan maupun Iran. Bahkan hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dibuat sesederhana mungkin agar dapat segera digunakan dalam penyelenggaraan negara.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun secara singkat itu, dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh (pasal-pasalnya), tidak ada satu kalimat atau perkataan yang secara eksplisit menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tetapi pengertian yang sedemikian di dapat pada alinea ke 4 (empat) Pembukaan UUD 1945: “Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar Negara Indonesia”, Jadi Republik Indonesia adalah negara hukum yang berkonstitusi yang dituliskan. [8]

Memang apabila ditelusuri dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ternyata pada saat proses perumusan UUD 1945 tidak diwarnai dengan perdebatan yang mendalam tentang faham negara hukum. Walaupun dalam proses perumusan UUD 1945 di BPUPKI tidak ada perdebatan secara eksplisit tentang negara hukum, namun hal ini tidak berarti bahwa secara konseptual Indonesia adalah bukan negara hukum, karena adanya konstitusi merupakan konsekuensi dari penerimaan konsep negara hukum. Menurut Moh. Mahfud[9] pada saat pendiri negara (founding fathers) berdebat untuk menyusun sebuah konstitusi, berarti mereka secara sadar telah memilih konsep negara hukum untuk negara yang akan didirikan. Konstitusi berfungsi membatasi secara hukum, oleh karena itu penggunaan kekuasaan pemerintah tidak boleh melanggar hak asasi manusia dan tidak boleh melampaui batas kewenangan yang diberikan dalam konstitusi tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut Yusril Ihza Mahendra[10] menyatakan: “Meskipun UUD 1945 merupakan naskah konstitusi yang singkat, negara yang hendak dijelmakannya secara normatif memenuhi syarat-syarat sebuah negara hukum“. Di samping itu, dalam sidang BPUPKI[11] dapat ditemukan pendapat yang menginginkan agar negara Indonesia yang akan didirikan itu merupakan negara kesejahteraan, negara yang berkedaulatan rakyat, negara yang hendak mewujudkan keadilan, negara yang menjamin kesehatan rakyat, negara yang menjamin kebebasan rakyat untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal tersebut antara lain dikemukakan oleh M. Yamin, Soekarno dan Hatta.

M. Yamin[12] antara lain menyatakan : “…bahwa negara yang akan dibentuk itu hanya semata-mata untuk seluruh rakyat, untuk kepentingan seluruh bangsa yang akan berdiri kuat di dalam negara yang menjadi kepunyaannya”. Selanjutnya ia menambahkan : “ Kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia merdeka ialah pada ringkasnya keadilan masyarakat atau keadilan sosial[13]. Dalam kesempatan yang sama Soekarno mengatakan : “Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil, Maka oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtsvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.”[14]

Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa negara yang diinginkan oleh bangsa Indonesia ialah negara yang menjamin kesejahteraan rakyat, yang menjamin keadilan dan hak asasi manusia. Negara yang demikian itu tiada lain ialah negara hukum. Apabila dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 sebelum perubahan tidak dikemukakan pernyataan yang eksplisit tentang negara hukum, ternyata tidak demikian halnya dalam Penjelasan UUD 1945 naskah asli. Dalam Penjelasan Bagian Umum tentang Sistem Pemerintahan Negara, pada Pokok Pikiran yang pertama di tegaskan : “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas Hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Perlu diingat bahwa penjelasan UUD 1945 tidak pernah dibahas dalam BPUPKI, bahkan naskah tersebut baru muncul kemudian menyertai naskah UUD 1945 setelah diumumkan dalam Berita Negara pada tahun 1946.

Mohamad Fajrul Falakh[15] berpendapat, bahwa pemuatan pernyataan Indonesia sebagai sebuah negara hukum dalam Penjelasan UUD 1945 menunjukkan kesadaran post-factum, setelah terjadi kekalahan fasisme Jerman di bawah Adolf Hitler dan fasisme Jepang di bawah Tenno Heika dalam Perang Dunia II. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa kedua rezim fasis ini dirujuk dengan rasa kagum dan percaya diri oleh Soepomo di dalam pidatonya di depan BPUPKI, dan keduanya merupakan negara kekuasaan (machtstaat). Maka dapat dimengerti apabila Penjelasan UUD 1945 hanya menerangkan negara hukum dengan cara melawankan antara rechtsstaat, sistem konstitusi, dan tidak bersifat absolutisme di satu sisi dengan machtsstaat di sisi yang lain.

Hanya saja pernyataan Indonesia adalah negara hukum dalam penjelasan UUD 1945 ini pun tidak ada elaborasi lain mengenai prinsip-prinsip negara hukum, sehingga sangat sulit untuk menelusuri orientasi konsepsinya di antara berbagai konsepsi negara hukum yang ada. Berkait dengan orientasi konsepsi negara hukum ini, menurut Soetandyo Wignjosoebroto,[16] ide rechtsstaat atau yang di negeri-negeri bertradisi common law disebut the rule of law mula pertama di perkenalkan dalam ketatanegaraan Hindia-Belanda melalui Regeringsreglement (RR) tahun 1854. Ide itu digariskan dalam RR melalui tiga pasalnya, yaitu Pasal 79, 88, 89. Pasal 79 RR menyiratkan asas Trias Politika yang menghendaki diserahkannya kekuasaan peradilan ke tangan hakim yang bebas, yang berarti menyiratkan asas pembagian kekuasaan. Pasal 88 memerintahkan dilaksanakannya asas legalitas dalam setiap proses pemidanaan, sedangkan Pasal 89 melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan hak-hak perdatanya. Sebagai negara yang telah dijajah sekian lama oleh Belanda, hukum Indonesia dapat dikelompokkan dalam keluarga Romawi – Jerman. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh beberapa pakar antara lain oleh Rene David dan John E.C. Brierley, Muhamad. Yamin dan Djoko Soetono. Rene David dan John E.C. Brierley, menyatakan “To a certain extent Indonesia, colonised by The Dutch, belongs to The Romano-Germanic family”. [17]

Sedangkan Ashary,[18] menyatakan, karena besarnya pengaruh ide rechtsstaat terhadap konsep negara hukum yang khas Indonesia, maka banyak kepustakaan Indonesia yang menyebutkan bahwa istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechtsstaat. Hal ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yamin dan Djoko Soetono.

Muhammad Yamin[19] menyatakan “Republik Indonesia ialah suatu negara hukum (rechtsstaat, government of law) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang”. Sedangkan Djoko Soetono[20] menyatakan: “Negara hukum yang demokratis sesungguhnya istilah ini adalah salah, sebab kalau dikatakan democratische rechtsstaat, yang penting dan primair adalah rechtsstaat”.

Untuk itu, dalam memahami negara hukum Republik Indonesia hendaklah disadari bahwa ide rechtsstaat mempunyai pengaruh yang cukup besar dan di sisi lain ada kecenderungan nasional untuk merumuskan suatu konsep negara hukum yang khas Indonesia. Ide khas tersebut terlontar dalam gagasan yang disebut dengan negara hukum Pancasila atau negara hukum berdasarkan Pancasila. Untuk merumuskan konsep negara hukum yang khas Indonesia, pertama-tama hendaklah dipahami secara jelas, bahwa ide dasar Negara Hukum Indonesia diilhami oleh ide dasar rechtsstaat. Langkah ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa negara hukum Republik Indonesia pada dasarnya adalah negara hukum, artinya bahwa dalam konsep negara hukum Pancasila pada hakikatnya juga memiliki elemen yang terkandung dalam konsep rechtsstaat maupun dalam konsep rule of law. Bertolak dari beberapa pendapat tersebut di atas dan juga adanya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, maka wajar apabila ada pendapat bahwa orientasi negara hukum Indonesia adalah tradisi hukum Eropa Continental.

Namun apabila di kaji secara mendalam bahwa pendapat yang menyatakan orientasi konsepsi Negara Hukum Indonesia hanya pada tradisi hukum Eropa Continental ternyata tidak sepenuhnya benar, sebab apabila disimak Pembukaan UUD 1945 alinea I (satu) yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” menunjukkan keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah kemerdekaan melawan penjajahan. Dengan pernyataan itu bukan saja bangsa Indonesia bertekad untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan yang paling depan dalam menentang dan menghapuskan penjajahan di atas dunia.

Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan hak atas kemerdekaan sebagai hak asasinya. Di samping itu dalam Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, terdapat pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia antara lain: Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31. Begitu pula dalam UUD 1945 setelah perubahan pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia di samping Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 juga dimuat secara khusus tentang hak asasi manusia dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I dan Pasal 28J. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konsep negara hukum Indonesia juga masuk di dalamnya konsepsi negara hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan rule of law.

Dari penjelasan dua konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep “negara hukum” Indonesia tidak dapat begitu saja dikatakan mengadopsi konsep rechtsstaat maupun konsep the rule of law, karena latar belakang yang menopang kedua konsep tersebut berbeda dengan latar belakang negara Republik Indonesia, walaupun kita sadar bahwa kehadiran istilah “negara hukum” berkat pengaruh konsep rechtsstaat maupun pengaruh konsep the rule of law. Sejalan dengan hal tersebut, Hadjon[21], menyatakan bahwa negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsstaat atau the rule of law. Rechtsstaat mengedepankan wetmatigheid, yang kemudian menjadi rechtsmatigheid, sedangkan The rule of law mengutamakan prinsip equality before the law. Adapun negara hukum Indonesia, menghendaki adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yang mengedepankan asas kerukunan. Dari prinsip ini terlihat pula adanya elemen lain dari negara hukum Pancasila yakni terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, dan peradilan merupakan sarana terakhir. Sejauh menyangkut HAM, yang ditekankan bukan hanya hak atau kewajiban, melainkan juga jalinan yang seimbang antara keduanya.

Sebenarnya di Indonesia, baru pada tahun 1966 istilah the rule of law mulai populer untuk mengartikan negara hukum, hal ini diungkapkan oleh Ashary[22] sebagai berikut: “Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula istilah The rule of law yang diartikan sama dengan negara hukum". Pendapat tersebut antara lain dikemukakan oleh Sunaryati Hartono dan Sudargo Gautama.

Sunaryati Hartono[23] mengemukakan: “Oleh sebab itu, agar supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan the rule of law itu harus diartikan dalam artinya yang materiil. Sudargo Gautama[24] menyatakan: “dan jika kita berbuat demikian, maka pertama-tama kita melihat bahwa dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai rule of law.

Dari berbagai macam pendapat tersebut, nampak bahwa di Indonesia baik the rule of law maupun rechtsstaat diterjemahkan dengan negara hukum. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar, sebab sejak tahun 1945 The rule of law merupakan suatu topik diskusi internasional, sejalan dengan gerakan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, sulitlah untuk saat ini, dalam perkembangan konsep the rule of law dan dalam perkembangan konsep rechtsstaat untuk mencoba menarik perbedaan yang hakiki antara kedua konsep tersebut, lebih-lebih lagi dengan mengingat bahwa dalam rangka perlindungan terhadap hak-hak dasar yang selalu dikaitkan dengan konsep the rule of law, Inggris bersama rekan-rekannya dari Eropa daratan ikut bersama-sama menandatangani dan melaksanakan The European Convention of Human Rights.

Dengan demikian, lebih tepat apabila dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945 merupakan campuran antara konsep negara hukum tradisi Eropa Continental yang terkenal dengan rechtsstaat dengan tradisi hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan the rule of law. Bahkan lebih dari itu Rene David & John E.C. Brierley[25], menyatakan: “To a certain extent Indonesia, colonised by The Dutch, belongs to the Romano-Germanic family. Here, however, Romano-Germanic concepts combine with Muslim and customary law (adat law) in such a way that it is appropriate to consider that the system is mixed also”. Hal ini sejalan dengan pemikiran Yusril Ihza Mahendra[26] yang antara lain berpendapat bahwa kebijakan pemerintah Indonesia dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional, atau dalam semua hukum yang diciptakan, menjadikan empat hal sebagai sumber hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam, hukum eks kolonial yang sudah diterima oleh masyarakat dan konvensi-konvensi internasional yang berlaku. Hal ini sesuai dengan fungsi negara dalam menciptakan hukum yakni mentransformasikan nilai-nilai dan kesadaran hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Mekanisme ini merupakan penciptaan hukum yang demokratis dan tentu saja tidak mungkin bagi negara untuk menciptakan hukum yang bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya. Oleh karena itu kesadaran hukum rakyat itulah yang diangkat, yang direfleksikan dan ditransformasikan ke dalam bentuk kaidah-kaidah hukum nasional yang baru.

Apabila dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, tidak secara eksplisit terdapat pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum, lain halnya dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS). Dalam KRIS dinyatakan secara tegas dalam kalimat terakhir dari bagian Mukadimah dan juga dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Indonesia adalah negara hukum. Adapun isi Mukadimah Konstitusi RIS adalah sebagai berikut:

MUKADIMAH

“Kami bangsa Indonesia semenjak berpuluh-puluh tahun lamanya bersatu padu dalam memperjuangkan kemerdekaan, dengan senantiasa berhati teguh berniat menduduki hak hidup sebagai bangsa yang merdeka berdaulat.

Kini dengan berkat dan rakhmat Tuhan telah sampai kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur.

Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.

Untuk mewujudkan kebahagiaan kesejahteraan perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna”.

Hal itu kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 1 ayat (1) KRIS yang menyatakan “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang Demokrasi dan berbentuk federasi”. Dengan demikian tidak perlu diragukan lagi bahwa secara eksplisit negara RIS dinyatakan sebagai negara hukum. Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum dapat dibaca dalam kalimat terakhir bagian Mukadimah dan dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 sebagai berikut:

MUKADIMAH

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan Rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Dengan berkat dan rahmat Tuhan tercapailah tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur.

Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam Negara yang berbentuk republik kesatuan, berdasarkan pengakuan ke Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia merdeka yang berdaulat sempurna.

Kemudian rumusan negara hukum ini dipertegas lagi di dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang menyatakan: Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan.

Dalam UUD 1945 setelah diadakan perubahan, konsepsi negara hukum yang awalnya berada dalam Penjelasan UUD 1945, dimasukkan ke dalam Pasal 1 ayat (3) dengan perumusan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan demikian jelas bahwa baik konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 maupun UUD 1945 yang telah diubah, ketiganya merumuskan secara harfiah dan tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang mana hal ini berbeda dengan UUD 1945 naskah asli.

Meskipun pernyataan tentang sistem negara hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan tersebut hanya diuraikan secara singkat dan tidak ada tambahan penjelasan, namun makna dan implikasinya sangat luas dan jelas. Agar dapat lebih dimengerti, hendaknya dibaca pula isi Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dari dua pasal tersebut dapat ditegaskan bahwa Negara Indonesia menganut prinsip demokrasi konstitusional (Constitutional Democracy)”[27] yang pada pokoknya tidak lain adalah dari prinsip negara demokrasi yang berdasar atas hukum sebagai sisi lain dari mata uang yang sama dengan prinsip negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) yang sama-sama dianut dalam UUD 1945. Berkaitan dengan hal tersebut Jimly Asshiddiqie[28] menyatakan bahwa prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang Dasar 1945. menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan sekaligus adalah negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Kedaulatan rakyat (democratie) di Indonesia itu diselenggarakan secara langsung dan melalui sistem perwakilan. Secara langsung, kedaulatan rakyat itu diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; Presiden dan Wakil Presiden; dan Kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dalam menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuan-ketentuan hukum berupa Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang (fungsi legislasi), serta dalam menjalankan fungsi pengawasan (fungsi kontrol) terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan rakyat itu juga disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan dan memilih presiden dan wakil presiden, gubernur dan bupati/walikota. Di samping itu, kedaulatan rakyat dapat disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebebasan informasi, dan hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Namun, prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat langsung itu hendaklah dilakukan melalui saluran-saluran yang sah sesuai dengan prosedur demokrasi (procedural democracy). Sudah seharusnya lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah diberdayakan fungsinya dan pelembagaannya, sehingga dapat memperkuat sistem demokrasi yang berdasar atas hukum (demokrasi konstitusional) dan prinsip negara hukum yang demokratis tersebut.

Bersamaan dengan itu, negara Indonesia juga disebut sebagai negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (matchtsstaat), dan pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekwensi dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan, ada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum, kesetaraan dihadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Dengan demikian dalam Negara Hukum Indonesia di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dalam paham negara hukum yang demikian itu, pada hakikatnya hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi (nomocracy) dan doktrin “the rule of law, and not of man”. Dalam kerangka “the rule of law” itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan (equality before The law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek (due process of law).

Namun demikian, harus ada pula jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi, karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Puncak kekuasaan hukum itu diletakkan pada konstitusi yang pada hakikatnya merupakan dokumen kesepakatan tentang sistem kenegaraan tertinggi.

Dengan demikian, merupakan suatu keharusan bahwa semua warga negara, tanpa melihat kedudukannya, mengerti bahwa substansi dari negara hukum adalah dianutnya paham supremasi hukum yang dalam bahasa populernya disebut sebagai the Rule of Law. Berkait dengan democratische rechtsstaat ini pendapat dari Padmo Wahjono (dalam Hendro Nurtjahjo,2004:83-84) sangat menarik untuk dikemukakan. Ia menyatakan, bahwa dalam perkembangan teori kenegaraan, pada pengertian reachtsstaat sering dikaitkan dengan pengertian demokratis. Sehingga merupakan sesuatu yang ideal dalam bernegara, ialah pola “Negara Hukum yang Demokratis” ( Democratische rechtsstaat). Rumusan itu pernah dipakai dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, yang mana rumusan tersebut lazim didunia barat dalam suatu sistem Parlementer. Adapun inti perumusan ini, ialah bahwa Hukum yang berlaku dalam suatu Negara Hukum, haruslah yang terumus secara demokratis, yaitu yang memang dikehendaki oleh rakyat. Dalam sejarah kenegaraan menunjukkan, bahwa apabila kekuasaan tertinggi semata-mata berada pada rakyat tanpa ada suatu pembatasan, memungkinkan timbulnya absolute democratie, yang tidak berbeda sifatnya dengan kekuasaan tidak terbatas pada satu orang (diktatur), maupun pada sekelompok orang (diktatur proletariaat). Menurut Padmo Wahjono, rumusan mengenai hal ini dapat dipahami dalam kalimat terakhir alenia ke empat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan : “….yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persmusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sila-sila dari Pancasila membatasi kemungkinan timbulnya demokrasi yang absolute, dan jaminan itu lebih tegas dari pada rumusan: “Negara Hukum yang Demokratis“ ataupun sebaliknya ”Negara Demokrasi yang dibatasi oleh pola negara Hukum”, karena pandangan bernegara tidak nampak dalam rumusan tersebut.

Di Indonesia, prinsip rechtsstaat atau negara hukum yang memberlakukan prinsip rule of law dan mengarah pada suatu welfare staat, diterima dengan penyesuaian tertentu, yang mana prinsip negara hukum sebagai penjaga malam atau nachtwakerstaat tidak bisa diterima oleh bangsa Indonesia.

Terkait dengan kedua konsep di atas, maka konsep “Negara Hukum Pancasila” hakikatnya memiliki elemen yang terkandung dalam konsep Rechtsstaat dan Rule of Law. Perbedaan prinsipiilnya terletak pada landasan filosofi kenegaraan, bahwa Negara Hukum Pancasila berbasis pada filsafat Pancasila[29] bukan pada filsafat liberalistik. Pancasila sebagai ideologi nasional memberikan ketentuan dasar sebagai landasan sistem hukum Indonesia, termasuk landasan negara hukum. Kenyataan tersebut secara utuh dapat dipahami pada Pembukaan, Batang Tubuh maupun penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan) maupun Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 sesudah dilakukan perubahan UUD 1945.

Sebelum UUD 1945 diubah, penjelasannya memuat tentang Negara Hukum RI khususnya berkaitan Sistem Pemerintahan Negara RI sebagai berikut

1. Indonesia negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).

2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme, (kekuasaan yang tidak terbatas).

3. Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.

4. Presiden ialah penyelenggara Pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis

5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

6. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Berkait dengan sistem pemerintahan, Mohammad Noor Syam menyatakan, bahwa: “sistem pemerintahan negara ini mencerminkan tatanan negara hukum dan tatanan Demokrasi Pancasila, dan dilaksanakan oleh kelembagaan negara”: Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan, disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.

Selanjutnya, dengan negara hukum ini, Mohammad Noor Syam[30] menyatakan bahwa negara sebagai rumah tangga bangsa, lebih-lebih dengan predikat negara hukum, mengemban kewajiban untuk menegakkan hukum demi keadilan bagi setiap manusia warganegara dan penduduk; bahkan juga demi kemerdekaan manusia. Prinsip keadilan dan kemerdekaan ini diajarkan para pemikir filsafat hukum, yang antara lain menyatakan: “The ideal of moral good is represented by an ideal human being; The ideal of justice is represented by an ideal social order”. Pada bagian lain dikemukakan: “Universally valid elements of the idea of the law area justice and legal certainty”[31]

Keadilan sebagai cita hukum hanya dapat ditegakkan oleh dan di dalam negara; karena negara mempunyai kewenangan atas nama seluruh rakyat, warga negara. Negara yang dapat menegakkan hukum hanyalah negara hukum (Rechtsstaat), demikian dikemukakan Friedmann[32] “The law must realize justice and the state must be a rechstsstaat”.

Pada hakikatnya tegaknya hukum dan keadilan ini ialah wujud kesejahteraan manusia (warga masyarakat) lahir dan batin, sosial dan moral. Kesejahteraan rakyat lahir batin, terutama terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; yaitu sandang, pangan, papan, rasakeamanan dan keadilan, serta kebebasan beragama/kepercayaan. Cita-cita keadilan sosial ini dilaksanakan (diupayakan) berdasarkan UUD dan hukum perundangan yang berlaku dan ditegakkan secara melembaga berdasarkan UUD 1945.

Negara RI sebagai negara hukum, mengakui bahwa kewajiban untuk menjamin dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat bukanlah tanggungjawab lembaga hukum semata-mata, melainkan tanggungjawab kelembagaan dan kepemimpinan atas nama kedaulatan rakyat. Hal itu merupakan tanggung jawab semua warga negara; artinya oleh dan untuk rakyat Indonesia sebagai manusia Indonesia, sebagaimana ditetapkan oleh filsafat negara Pancasila dan UUD 1945. Wujud tanggung jawab rakyat warga negara menegakkan keadilan itu ialah kualitas kesadaran hukum masyarakat yang nampak dalam tertib sosial atau disiplin nasional.

Adapun menurut Hadjon[33], elemen-elemen penting negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut :

1. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat

berdasarkan kerukunan;

2. hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;

3. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir jika musyawarah gagal; dan

4. keseimbangan antara hak dan kewajiban.



Berdasarkan elemen-elemen tersebut, hendaknya upaya perlindungan hukum bagi masyarakat diarahkan pada:

1. upaya mencegah terjadinya sengketa atau mengurangi terjadinya sengketa sehingga sarana perlindungan hukum yang preventif perlu lebih diutamakan dari pada perlindungan hukum yang represif,

2. upaya menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musyawarah dan penuh kekeluargaan, dan

3. penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir dan bukan forum konfrontasi sehingga dalam peradilan tercermin suasana damai dan tenteram melalui hukum acaranya.



Pengertian Negara Hukum dalam konteks Negara Hukum Indonesia [34] menurut penulis dapat dilihat dari sudut pandang asas religiusitas, asas kolektifitas dan asas pengayoman. Asas religiusitas nampak bahwa negara Indonesia terbentuk bukan karena “perjanjian bermasyarakat”dari status “naturalis”ke status “civil” dengan perlindungan terhadap “civil right”, melainkan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Konstruksi tersebut merupakan cerminan luhur asas kolektifitas yang melahirkan kesepakatan satu tujuan (gesamtakt) untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” dan pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun tujuan hukum berdasarkan cita hukum Pancasila adalah untuk memberikan pengayoman kepada manusia, yaitu melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang, dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh[35]. Dalam rumusan tersebut termasuk juga tujuan untuk memelihara dan mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita-cita moral rakyat yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Adapun pelaksanaan pengayoman dilakukan dengan usaha mewujudkan:

1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas.

2. Kedamaian yang berketentraman

3. Keadilan (distributif, komutatif, vindikatif, protektif)



Terhadap cara pandang berdasarkan asas kolektifitas tersebut, Mohammad Tahir Azhary[36] menambahkan “asas kerukunan”, sehingga berdasarkan kedua asas dimaksud “Bangsa dan Negara Indonesia merupakan satu persatuan dan kesatuan dengan semangat kekeluargaan dan kerukunan hidup”.

Apabila Moctar Kusumaatmadja mengambil titik pangkal pemahaman negara hukum Pancasila berdasarkan “asas pengayoman” yang dikandung UUD 1945, dan ditambahkan dengan “asas kerukunan”oleh Mohammad Tahir Azhary, lain halnya dengan Omar Seno Adji[37], yang mengangkatnya dari sudut Pancasila sebagai sumber hukum. Berdasarkan fungsi Pancasila sebagai sumber hukum tersebut maka negara hukum Indonesia dapat dinamakan “Negara Hukum Pancasila”.

Selain itu layak pula dikemukakan pendapat Soejadi[38], tentang Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, antara lain:

Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila ditransformasikan dalam cita hukum serta asas-asas hukum, yang selanjutnya dirumuskan dalam konsep Hukum Nasional Indonesia. Dengan demikian dapat diperoleh pemahaman bahwa Hukum Nasional Indonesia mengandung corak, tidak menganut positivisme hukum, menolak faham legisme dan sekuleristik, mewujudkan nilai keadilan, dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.



Dari pengertian mengenai unsur-unsur negara hukum yang telah dikemukakan di atas, apabila dihubungkan dengan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka dapat ditemukan unsur-unsur negara hukum, yaitu:

1. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan kerukunan;

2. adanya pengakuan mengenai adanya keseimbangan terhadap jaminan hak-hak serta kewajiban asasi manusia dan warga negara;

3. adanya pembagian kekuasaan;

4. dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasar atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;

5. adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya bersifat merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan lainnya;

6. penyelesaian sengketa diusahakan secara musyawarah dan peradilan merupakan jalan terakhir jika musyawarah gagal;

7. terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; sandang, pangan, papan, rasa keamanan, keadilan serta kebebasan beragama/ kepercayaan.

8. penyelenggaraan prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum secara beriringan.

Sehubungan dengan pendapat di atas, maka menurut hemat penulis, adalah menjadi tantangan para ilmuwan hukum (cendekiawan) Indonesia untuk menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam konsep-konsep (teori) hukum nasional yang lebih aplikatif. Sehingga dapat dibentuk tatanan sistem hukum nasional yang konstan menampilkan Paradigma Negara Hukum Pancasila. Dengan kata lain, maka ide negara hukum yang demokratis menjadi ide yang harus diperjuangkan dan diterapkan dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia.



C. KESIMPULAN

Dengan penyelenggaraan otonomi daerah, kedelapan unsur makro negara hukum Indonesia di atas, tentunya masih dapat dipertajam dengan unsur “adanya peran dan fungsi strategis Peraturan Daerah sebagai instrumen yuridis penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mewujudkan tujuan negara hukum Indonesia”. Sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka eksistensi Peraturan Daerah bagi Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota di Indonesia, menjadi instrumen yuridis cukup fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dikarenakan, Peraturan Daerah bukan saja merefleksikan keotonomian daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri, tetapi juga menunjukkan adanya kewenangan lembaga pembentuk hukum (Peraturan Daerah) di Daerah yang secara hierarkis tidak memiliki hubungan sub ordinat dengan lembaga pembentuk hukum (undang-undang) di tingkat pusat. Berdasarkan unsur ini, menurut penulis, dapat dikembangkan kekhususan peran dan fungsi aktif Peraturan Daerah dalam sistem hukum nasional :

a. merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang materi muatannya terfokus pada subjek, objek, kewenangan, dan urusan rumah tangga daerah di wilayah hukum (yurisdiksi) Pemerintah Daerah bagi pencapaian tujuan nasional,

b. sekalipun Peraturan Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota tidak dapat diberlakukan di Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota lainnya, akan tetapi sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional, peran dan fungsi Peraturan Daerah tidaklah bersifat superior terhadap peraturan perundang-undangan tingkat atasan dan kepentingan nasional yang menjadi rambu-rambu perukunannya (larangan, keharusan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangannya). Tegasnya, keserasian hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (antar Pemerintah Daerah) dan segenap rakyat di Daerah tetap terpelihara sebaik-baiknya,

c. prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang telah mengakomodasi secara komprehensif jaminan dan perlindungan hak asasi manusia berdasarkan perubahan Pasal 28 A,B,C,D,E,F,G,H,I,J Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 39 Th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dengan sendirinya menjadi acuan (rambu-rambu) fundamental bagi pembentukan, pelaksanaan dan penegakan Peraturan Daerah, dengan tujuan memberdayakan kehidupan, kesejahteraan dan keadilan warga masyarakat di daerah sebagai warga negara dan rakyat Indonesia.

d. konsekuensinya, di setiap wilayah hukum (yurisdiksi) daerah otonom berproses penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat, asas desentrasilasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dalam upaya mencapai tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, dan

e. dengan demikian, kewenangan Kepala Daerah dan DPRD dalam membentuk, melaksanakan dan menegakkan Peraturan Daerah haruslah signifikan dengan prinsip-prinsip negara hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini membawa konsekuensi bahwa aspek pengawasan preventif dan represif terhadap Peraturan Daerah serta keberlanjutannya melalui upaya judicial review ke Mahkamah Agung merupakan standar baku (par exellence) tata laksana kehidupan negara hukum Indonesia, dengan menempatkan supremasi hukum di atas kekuasaan negara, daerah otonom, perseorangan, kelompok, suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).





DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani Roeslan, 1964, Hukum Dalam Revolusi dan Revolusi Dalam Hukum, BP. Prapanca. Jakarta.

Adji Oemar Seno, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta

Arief Sidharta Bernard, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Madju, Bandung

Asshiddiqie Jimly 1, 2002, Judicial Review & Matinya TGPTPK, Diktum, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, LeIP, edisi 1

_______________2, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.

_______________3,2003, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan keempat UUD 1945, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Jakarta

__________________, 4, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Attamimi A. Hamid S 1, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun waktu Pelita I - Pelita IV, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.

___________________2, 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Menjernihkan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta pada tanggal 25 April, Jakarta.

Azhary Muhammad Tahir, 1992, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya. Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Disertasi, Bulan Bintang. Jakarta.

Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

David Rene & John F.C. Brierley, 1985, Major Legal Systems in the World Today, Third Edition, Stevens & Sons, London.

Falakh Mohamad Fajrul, Negara Hukum dan MPR, www.Kompas.com. Senin, 12-08-02

Febrian, 2004, Hirarki Aturan Hukum Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya

Gautama Sudargo, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung.





Hadjon, Philipus M 2, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan Administrasi Bina Ilmu, Surabaya.

Hartono Sunaryati C.F.G,1, 1976, Apakah The Rule of Law, Alumni, Bandung.

____________________,2, 1993, Kebijakan Pembangunan Hukum menuju Sistem Hukum Nasional, Analisis CSIS, Tahun XXII, No. I,

Joeniarto R, 1, 1967, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Penerbit Gajahmada, Yogyakarta.

Kusumaatmadja Mochtar, 1, 1970, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam pembangunan nasional, Pajajaran, Jilid III

___________________,2, 2002, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. PT. Alumni, Bandung.

Mahendra Yusril Ihza 1, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi aktual masalah konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Press, Jakarta.

__________________ 2, 2003, Pemimpin Kita Harus Tegas, Berani dan Keras dalam Forum Keadilan No. 25 tanggal 26 Oktober.

Mahfud M.D. Moch, 3, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta.

Media Indonesia 21 Nopember 2002

Noorsyam, Mohammad. 1998, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum. Sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Malang.

Notonegoro. 1974, Pancasila Dasar Falsafah Negara. CV. Pantjuran Tudjuh. Cet. Ke IV., Jakarta

Prodjodikoro Wirjono, 1970, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesa, Dian Rakyat, Jakarta

Seno Adji Oemar, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta.

Sutono Djoko, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soejadi, 1998, Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, Disertasi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, p.214

Yamin Mohamad, 1952, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Yusuf, 2000, Reformasi Hukum : Antara Cita dan Fakta, Jurnal Keadilan No. 1 vol. 1, Desember.

Wahjono Padmo 1, 1984, Guru Pinandito, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.



______________2, 1996, Diktat Standard Ilmu Negara. Fakultas Hukum UI, Jakarta.

______________3, 1988, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Makalah, September.

Wignjosoebroto Soetandyo, 1994, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Wilk, Kurt (Transl.). 1950, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Debian. Harvard University Press, Cambrige-Massachusetts.

Wiyono Suko, 2004, Pengujian Keabsahan Peraturan Daerah dalam Rangka Penyelenggaraan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang

____________,2006, Supremasi Hukum dalam Berbagai Perspektif, Gaung Persada Press, Jakarta.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Falakh Mohamad Fajrul, Negara Hukum dan MPR, www.Kompas.com. Senin, 12-08-02.







[1] Kusumaatmadja, Mochtar Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. (PT. Alumni, Bandung, 2002), hlm. 12.

[2] Hadjon, Philipus M , 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan Administrasi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 72.

[3] Mahfud M.D. Moch., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm.127.

[4] op.cit. Hadjon, Philipus M., Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya…, hlm.71-74.

[5] Daniel S. Lev(2000:2)

[6] Ashary, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Menjernihkan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta pada tanggal 25 April, Jakarta, 1992, hlm.73.

[7]Attamimi A. Hamid S Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun waktu Pelita I - Pelita IV, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. hlm.311.



[8] Yamin Mohamad, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1952), hlm. 15.

[9] op.cit., Mahfud M.D. Moch., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi…hlm.133.

[10] Mahendra Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi aktual masalah konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), hlm. 41.

[11] Azhary, Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya (Jakarta :Universitas Indonesia Press,1995), hlm. 69.

[12] Ibid., Azhary, Negara Hukum Indonesia ... hlm. 69.

[13] Ibid., Azhary, Negara Hukum Indonesia ... hlm. 69.

[14] Ibid., Azhary, Negara Hukum Indonesia ... hlm. 69.

[15] Falakh Mohamad Fajrul, Negara Hukum dan MPR, dikutip dari http//:www.kompas.com. pada hari Senin, 12-08-02.

[16] Wignjosoebroto Soetandyo, 1994, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada), 1994, hlm.24.

[17] David Rene & John F.C. Brierley, Major Legal Systems in the World Today, Third Edition, (London :Stevens & Sons, 1985), hlm.79.

[18] op.cit., Azhary, Negara Hukum Indonesia ... hlm. 30.

[19] op.cit., Yamin Mohamad, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia... hlm. 75.

[20] Wahjono Padmo, 1984, Guru Pinandito, (Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984), hlm.69.

[21] op.cit. Hadjon, Philipus M., Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya…, hlm.85.

[22] Ibid., Azhary, Negara Hukum Indonesia ... hlm. 31.

[23] Hartono Sunaryati C.F.G,, Apakah The Rule of Law, (Bandung:Alumni, 1976), hlm. 35.

[24] Gautama Sudargo, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung:Alumni, 1973), hlm.8.

[25] op.cit., David Rene & John F.C. Brierley, Major Legal Systems in the World Today, ... hlm.79.

[26] Yusril Ihza Mahendra, Pemimpin Kita Harus Tegas, Berani dan Keras dalam Forum Keadilan No. 25 tanggal 26 Oktober, 2003, hlm. 36.

[27] Asshiddiqie Jimly, Judicial Review & Matinya TGPTPK, Diktum, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, (Jakarta: LeIP, edisi 1, 2002), hlm.3

[28] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan keempat UUD 1945, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2003), hlm.1.

[29] Noor Syam, Mohammad, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum. Sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional, (Malang: Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1998), hlm.120.



[30] ibid., Noor Syam, Mohammad, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat … hlm.120-121.

[31] Ibid. Noorsyam, Mohammad, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat … hlm.121.

[32] Friedmann. W, Legal Theory. (London:Stevens & Sons, Limited,1949), hlm. 82.

[33] op.cit., Hadjon, Philipus M., Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya…, hlm.90.

[34] Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Makalah, September, 1988, hlm. 4-6..

[35] Kusumaatmadja Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, (Pajajaran, Jilid III, 1970), hlm. 1.

Arief Sidharta Bernard, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. (Bandung:Mandar Madju, 1999), hlm. 190.

[36] Azhary Muhammad Tahir, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya. Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Disertasi, (Jakarta:Bulan Bintang, 1992), hlm.71.

[37] Seno Adji Oemar, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta:Erlangga, 1980), hlm.24-58.

[38] Soejadi, Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, Disertasi, (Yogyakarta:Universitas Gajah Mada,1998), hlm.214.

http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=62

UU BHP DITINJAU DARI PERSPEKTIF POLITIK HUKUM ( SEBUAH CATATAN DAN GAGASAN)

UU BHP DITINJAU DARI PERSPEKTIF POLITIK HUKUM

( SEBUAH CATATAN DAN GAGASAN)

Oleh:

Romi, S.H.[1] dan Delfina Gusman, S.H., M.H.[2]

ABSTRACT

The effort of educational system reformation cannot be carried out unfocusedly and without compromising to our heart. Whereas it should refer to any provision to be manifested in the form of prevailing rule and regulation. The ratification of act to education law institute represents part of the reformation effort for education line. It produced any conflict among society, because some of article from the related rule assumed is invalid of ideology and contrast with constitution of 1945. For example: The Article of non profit company versus educational commercialization, the article about non profit versus taxation. The crucial articles is assumed of people as repressive or burdening to people. The solution of them are to review the related articles from political perspective view of law, during the execution will continue to be performed the best accomplishment for the shake of producing the responsive of rule to education law institute

Key words : education law institute, law politics, non profit

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Permasalahan

Pendidikan memiliki peran amat penting untuk membangun peradaban bangsa sebesar Indonesia. Pendidikan merupakan sarana efektif untuk meningkatkan kecerdasan warga negara dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kesejahteraan umat manusia. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional dari bangsa ini adalah mencerdaskan bangsa.[3]

Agar bangsa ini mampu bersaing dalam peraturan global dan mencapai kemandirian di masa mendatang, pemerintah harus memiliki kemauan politik (political will) yang kuat dalam melakukan reformasi pengelolaan pendidikan. Keberhasilan reformasi dalam pengelolaan pendidikan secara nasional diharapkan akan mampu mendorong keberhasilan reformasi dibidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya, karena melalui pengelolaan pendidikan yang bermutu dan berkualitas akan lahir sumber daya manusia yang unggul dan siap berkompetisi.

Upaya reformasi sistem pendidikan tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan sekehendak hati. Melainkan harus berpedoman pada seperangkat aturan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan yang jelas (rule & regulation), yang dirancang berdasarkan pendekatan sistemik dan kesadaran rasional demi kebaikan serta kepentingan orang banyak. Kita pun mesti tetap berpegang pada prinsip demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.[4]

Salah satu upaya awal pemerintah dalam reformasi pendidikan adalah melahirkan UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ( UU Sisdiknas). Dalam konsideran UU tersebut dikatakan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.[5]

Lebih lanjut, tanggal 17 Desember 2008 pemerintah kembali mengesahkan aturan hukum baru yaitu UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, yang lebih dikenal dengan UU BHP. Pembentukan UU ini merupakan amanat dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas:

“Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Ketentuan mengenai BHP lebih lanjut akan diatur dengan undang-undang.

Kehadiran UU BHP menambah daftar UU yang ditolak masyarakat atau menimbulkan kontroversial. Maraknya aksi demo mahasiswa menolak UU BHP ini, dinilai karena proses pembentukannya kurang memerhatikan apa yang hidup dalam masyarakat dan kurang memerhatikan kondisi sosial psikologis budaya masyarakat.

Mengutip pendapat pakar hukum tata negara dari UGM, Prof. Sudjito, UU BHP dan sejumlah produk hukum pasca reformasi mengandung cacat ideologis. Padahal, pada awal reformasi ada tekad untuk menciptakan produk hukum yng didasarkan atas nilai-nilai luhur bangsa yang bersumber dari Pancasila. UU BHP tidak selaras dengan ideologi bangsa, dengan mengabaikan kondisi riil masyarakat dan mengatur lembaga pendidikan ibarat usaha bisnis.[6]

Pemerintah sedang bermain api dengan mengesahkan UU BHP. Pasca pengesahan, timbul kemungkinan-kemungkinan, terutama akan adanya kekhawatiran bila biaya pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) mahal merupakan hal wajar. Mengingat, beberapa PT ternama yang terlebih dulu di-BHP-kan seperti : UI, UGM, ITB, kini makin sulit diakses wong cilik. Otonomi kampus akibat kebijakan BHP menimbulkan persoalan krusial dalam dunia pendidikan.

Penolakan terhadap UU BHP merupakan salah satu gambaran produk hukum Indonesia pasca reformasi masih dianggap belum responsif atau memenuhi aspirasi masyarakat. Merujuk kembali pada tujuan awal disahkannya UU BHP oleh pemerintah sebagaimana terlihat dalam konsiderans UU ini :[7]

a. Bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar, menengah serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi;

b. Bahwa otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dapat diwujudkan, jika penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan, yang berfungsi memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada peserta didik berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan pendidikan nasional

Terlihat jelas, arah politik hukum pembentukan UU BHP adalah untuk menciptakan kemandirian dunia pendidikan demi memajukan pendidikan nasional. Namun faktanya, kehadiran UU BHP diwarnai berbagai penolakan dari beberapa kalangan yang terkait dengan dunia pendidikan. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan besar bagi kita, ”Haruskah UU BHP ditolak?”.

Memerhatikan alasan-alasan penolakan dari berbagai kalangan diantaranya pimpinan pendidikan tinggi, mahasiswa, LSM dan lainnya, maka ada beberapa pasal krusial yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi riil masyarakat. Pasal-pasal tersebut lebih mengarah kepada liberalisasi pendidikan yang berpotensi untuk mencangkokkan ideologi luar ke dalam sistem pendidikan kita. Berarti, pemerintah telah membunuh keanekaragaman inisiatif dan budaya lokal untuk mencapai kepribadian nasional dengan melalui pendidikan nasional.

Ditengah gencarnya penolakan UU BHP, timbul keinginan dari beberapa pihak untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini merupakan jalan terbaik untuk segera mengakhiri kekisruhan berkepanjangan antara masyarakat dan pemerintah. Uji materi UU BHP mengapa tidak?. Bangsa ini dengan semangat pasca reformasi tidak ingin eksis dengan produk hukum yang cacat secara ideologis, yang dijalankan dengan semangat represif dari pihak pemerintah sebaliknya rasa tertekan di pihak rakyat.

Bertitik tolak dari beberapa permasalahan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji beberapa pasal krusial atau yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Tulisan ini coba mengkritisi dan meninjaunya dari arah politik hukum khususnya dunia pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, penulis mencoba merangkum pembahasan ini dalam sebuah judul :

”UU BHP Ditinjau Dari Perspektif Politik Hukum ( Sebuah Catatan Dan Gagasan)”.



1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

Apa sajakah pasal-pasal krusial dalam UU BHP yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat?
Bagaimanakah pasal-pasal tersebut ditinjau dari perspektif politik hukum khususnya dalam dunia pendidikan?

II. PEMBAHASAN

2.1 Politik Hukum Nasional

Awal penyusunan RUU BHP sampai disahkan menjadi UU BHP tanggal 17 Desember 2008 selalu diwarnai aksi penolakan oleh berbagai kalangan. Keresahan masyarakat luas akan adanya dampak negatif dalam dunia pendidikan, khususnya liberalisasi pendidikan harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah.

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pemerintah perlu memerhatikan empat aspek agar penyusunan RUU yang diperintahkan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas sesuai dengan UUD 1945.[8] Pertama, aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban negara dan Pemerintah dalam bidang pendidikan serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan.

Kedua, aspek filosofis, yakni cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa. Ketiga, aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang yang dimaksud haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara. Keempat, aspek aspirasi masyarakat harus mendapat perhatian dalam pembentukan UU BHP agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dunia pendidikan.

Timbul pertanyaan, apakah pemerintah telah memerhatikan empat aspek yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam penyusunan RUU BHP hingga disahkan menjadi UU BHP. Faktanya, apa yang ditakutkan oleh MK mengenai penolakan terhadap UU BHP terjadi, bahkan menimbulkan kisruh yang berkepanjangan.

Masyarakat beranggapan bahwa arah politik hukum dalam dunia pendidikan yang diwujudkan dalam UU BHP tidak sesuai dengan keempat aspek tersebut, khususnya aspek aspirasi masyarakat. Pemerintah tidak melihat kondisi riil masyarakat yang kesulitan ekonomi. Dalam hal ini, Arief Sidharta menyatakan suatu tatanan hukum nasional Indonesia harus mengandung ciri:[9]

1. Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara

2. Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan

3. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi

4. Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran ( redelijkheid), rasionalitas kaidah dan rasionalitas nilai

5. Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap pengambilan putusan oleh pemerintah

6. Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

Senada dengan hal di atas adalah hasil seminar tentang hukum nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang setelah dibukukan berjudul Identitas Hukum Nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun haruslah:[10]

1. Berlandaskan Pancasila ( filosofis) dan UUD 1945 ( konstitusional)

2. Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan

Dua kutipan diatas merupakan bagaimana sebenarnya sosok” sistem hukum nasional yang dikehendaki” itu. Dalam rangka mewujudkan cita hukum ideal itu tentu tidak mudah. Diperlukan yang jelas dari politik hukum nasional dan kinerja yang sistemik dari komponen-komponen sistem hukum yang ada.

Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara ( Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara ( Republik Indonesia) yang dicita-citakakan, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 :

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

2. Memajukan kesejahteraan umum

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

Merujuk pada pengertian politik hukum nasional, jelas bahwa politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal Negara Republik Indonesia. Tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan:[11]

a. Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki

b. Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.

Jika kita melihat kembali kepada tujuan awal politik hukum nasional pembentukan UU BHP, maka tidak bisa disangkal, sebagian besar rumusan dalam UU BHP menetapkan substansi-substansi berupa langkah maju dalam menata kehidupan dan perkembangan pendidikan formal di Indonesia. Namun, selain sebagian besar langkah maju yang telah dirumuskan dalam UU BHP tersebut, masih perlu diketengahkan beberapa catatan tentang ketidaksempurnaan UU BHP tersebut.

Ketidaksempurnaan suatu produk hukum merupakan hal yang wajar, maka tidak heran munculnya pro dan kontra terhadap produk hukum tersebut. Sebagaimana yang dialami oleh UU BHP, mulai dari penyusunan sampai pengesahannya selalu menimbulkan kontroversial.

2.2 Pasal-Pasal Krusial

Pro dan Kontra akibat disahkannya UU BHP dikarenakan ada beberapa pasal yang dianggap tidak mencerminkan aspirasi masyarakat, dengan kata lain tidak responsif. Untuk itu mari kita tinjau beberapa pasal dari UU BHP yang menimbulkan kontroversi sejak disahkan oleh Presiden beberapa waktu lalu.

1. Nirlaba Profesional Vs Komersialisasi Pendidikan

Ada poin mendasar yang perlu dipahami dari muatan UU BHP ini dalam rangka reformasi penyelenggaraan pendidikan, yakni BHP badan Nirlaba yang profesional. Dikatakan nirlaba, karena dalam UU BHP terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:[12] pertama, BHP tidak boleh mengambil keuntungan (laba) dari penyelenggaraan pendidikan ( pasal 4). Seandainya BHP mendapatkan keuntungan dari hasil kegiatannya, maka keuntungan dan seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu pelayanan (pasal 37 ayat 6, pasal 38 ayat 3, pasal 42 ayat 6).

Kedua, BHP menjamin dan membantu kalangan tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan Perguruan Tinggi ( pasal 40 ayat 3). Bahkan, BHP menanggung seluruh biaya pendidikan dasar tingkat SD/MI dan SMP/MTs yang diselenggarakan oleh pemerintah (pasal 42 ayat 1). Sedangkan untuk pendidikan menengah dan perguruan tinggi, BHP menyediakan paling sedikit 20 persen peserta didik mendapatkan pendidikan gratis bagi yang tidak mampu secara ekonomi ( pasal 46 ayat 2).

Ketiga, dalam UU BHP ada ketentuan bahwa BHP wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 % dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 & dari jumlah seluruh peserta didik (pasal 46 ayat 1 dan 2).

Keempat, BHP pendidikan menengah dan pendidikan tinggi tidak boleh memungut dana berlebihan dari masyarakat, maksimal 1/3 ( satu pertiga) biaya operasional ( pasal 41 ayat 8 dan 9). Selain peserta didik yang memperoleh beasiswa, peserta didik lainnya hanya membayar sesuai dengan kemampuan pembiayaan ( pasal 41 ayat 7). Kelima, bagi BHP yang mengambil pungutan dari masyarakat lebih dari yang dibatasi, ada sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, penghentian pelayanan dari pemerintah atau pemerintah daerah, penghentian hibah, pencabutan izin. Sementara, bagi BHP yang menyalahgunakan kekayaan dan pendapatannya seperti mengambil keuntungan dari kegiatan pendidikan, maka ia akan dikenakan sanksi dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah), Pasal 63.

Pemerintah beranggapan, ketentuan pasal-pasal UU BHP tersebut menggambarkan bahwa BHP sangat menghindari terjadinya komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Hal ini tidak senada dengan yang ditulis oleh aktivis pendidikan, Darmaningtyas :[13] ”Masalah pendanaan, pendidikan hendaknya tidak dijadikan salah satu obyek komersil atau mencari keuntungan. UU BHP memang UU tentang korporasi pendidikan karena yang diatur hanya mengenai masalah tata kelola, kekayaan, pemisahan kekayaan, ketenagaan, pendanaan, tata cara investasi serta mekanisme pembubaran dan pailit dari badan hukum pendidikan.

Menurutnya, istilah-istilah yang digunakan dalam bab dan pasal dalam UU BHP ini adalah istilah yang biasa digunakan dalam korporasi, bukan di dalam dunia pendidikan. Maka wajar bila UU ini lebih cocok mengatur tentang sebuah korporasi, bukan mengatur pendidikan yang visinya mencerdaskan bagsa dan misi sosial. Sebab, UU BHP justru secara resmi mengatur aktivitas bisnis bagi BHP (Pasal 43). Ini bertentangan dengan pasal yang menyatakan BHP sifatnya nirlaba.[14]

Mengenai komersialisasi atau liberalisasi pendidikan yang dimunculkan UU BHP akhirnya potensial lebih banyak menghasilkan hal negatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bustami Rahman.[15] Bahwa petunjuk ke arah itu dapat dilihat di dalam UU BHP Bab VI tentang Pendanaan Pasal 41 ayat 4 dan 9. Pada ayat 4 intinya menyebutkan kewajiban pemerintah bersama dengan BHPP untuk menanggung paling sedikit setengah (1/2) biaya operasional. Sedangkan pada ayat 9 intinya menyebut tentang tanggungan peserta didik sebesar-besarnya sepertiga (1/3) biaya operasional.

Berdasarkan ayat 4, jika pemerintah dan BHPP mencukupi sampai 2/3 dan peserta didik membayar 1/3 dari biaya operasional, logikanya Perguruan Tinggi yang bersangkutan akan mampu beroperasi dalam standar nasional pendidikan. Namun, perlu dicermati, meskipun dikatakan bahwa paling sedikit setengah (1/2) menjadi tanggungan pemerintah, embel-embelnya tanggungan itu disebutkan bersama-sama dengan BHPP atau PT yang bersangkutan.

Apa artinya ini ? artinya bahwa PT yang bersangkutan otomatis harus mencari dana tambahan untuk kegiatan operasional mereka. Seandainya pimpinan PT bersangkutan ” gelap pikir”, tidak kreatif dan inovatif untuk menutupi margin kekurangan dana tersebut, maka secara naif ( dan ini yang dikhawatirkan oleh beberapa kalangan yang terkait dengan dunia pendidikan). PT akan ambil jalan mudah untuk meningkatkan sumbangan mahasiswa. Didalam perjalanan beberapa PT yang diujicoba beberapa tahun yang lalu, terlihat oleh mahasiswa praktik demikian ini. Akan tetapi, tidak dipungkiri, justru kehadiran UU BHP melindungi kenaikan sumbangan mahasiswa itu untuk tidak secara semena-mena.


2. BHP Nirlaba Vs Perpajakan

Pasal krusial lainnya yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat yaitu masalah perpajakan BHP. UU BHP dianggap belum konsekuen dengan prinsip nirlaba. BHP dinyatakan sebagai badan hukum nirlaba, tapi konsekuensi dalam hal perlakuan pajaknya tidak mengalami perubahan dari kondisi sebelum UU BHP.

Misalnya, pasal 38 ayat (3) menyatakan, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan wajib ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan dan digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (6) paling lambat dalam 4 (empat) tahun. Selanjutnya, pasal 38 ayat (4) menyatakan, apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan menjadi objek pajak penghasilan.

Pasal 37 ayat (6) menyatakan, kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: (a) kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran; (b) pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi; (c) peningkatan pelayanan pendidikan; dan (d) penggunaan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38 ayat (4) yang terkait dengan ayat (3) bertentangan dengan prinsip nirlaba karena kewajiban untuk mengalokasikan sisa hasil atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih masih diberi peluang boleh dilanggar setelah batas waktu empat tahun dilampaui dengan ketentuan harus menjadi objek pajak. Seharusnya, opsi untuk tidak mengalokasikan sesuai ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (6) tidak perlu ada. Jika seluruh BHP (badan hukum pendidikan) merupakan badan hukum nirlaba, seharusnya ia dibebaskan dari beban pajak yang harus ditanggung.

Ketentuan tersebut tidak memberi insentif bagi BHP membentuk endowment fund, padahal sangat dibutuhkan BHP dalam rangka menangkal dan berjaga-jaga terhadap kejadian-kejadian yang tidak diharapkan pada masa mendatang. Secara mendasar, UU BHP menetapkan BHP merupakan badan hukum nirlaba yang konsekuesinya harus lugas. Seluruh pertambahan kekayaannya tidak pada tempatnya dinyatakan sebagai objek pajak. Jadi, tidak pada tempatnya kegiatan yang membantu meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan formal dikenai pajak, seharusnya justru mendapatkan alokasi pengeluaran APBN di mata anggaran pendidikan.[16]

Di banyak negara, perpajakan atas lembaga nirlaba bervariasi. Umumnya, negara yang sadar belum mampu menjalankan tanggung jawabnya sehingga sebagian fungsi pendidikan dijalankan masyarakat, ada keinginan kuat memberikan kemudahan dan mengurangi pungutan. Di Denmark, misalnya, organisasi pendidikan yang bersifat nirlaba dikenai pajak. Namun, pemerintah mengucurkan anggaran besar untuk pendidikan. Pemungutan pajak juga tidak memberatkan dan digunakan untuk kepentingan lain.[17]


3. UU BHP Vs SDM Pendidik

BHP mengatur sumber daya manusia pendidikan yang terdiri atas pendidik dan tenaga kependidikan, yang dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai badan hukum pendidikan dengan membuat perjanjian kerja (pasal 55). Sehingga, status kepegawaian dalam BHP menjadi jelas dan ada kontrak untuk mencapai kinerja pendidikan.

Keberadaan pasal 55 juga menjadi pasal krusial bagi beberapa kalangan, khususnya bagi pendidik dan tenaga kependidikan. Pendapat pro menyatakan, bahwa pasal ini justru dapat memacu kinerja dan profesionalisme guru, khususnya pegawai negeri sipil. Kewajiban tiap BHP membuat perjanjian kerja baru dengan guru mendorong guru bekerja lebih profesional untuk tetap bisa dipekerjakan.Ketentuan ini sekaligus menjadi sistem kontrol, alat evaluasi untuk mendorong guru lebih bermutu. "Kalau mereka tidak mau terancam (tidak dipekerjakan), ya harus bisa bekerja lebih baik".

Sebaliknya, pendapat yang kontra terhadap pasal 55, justru menganggap cenderung memperlemah profesi pendidik. Makna guru direduksi menjadi sekedar pekerjaan, bukan profesi. Sistem kontrak yang biasa ada di perburuhan pun bakal kian legal diterapkan.

Menurut Darmaningtyas, pengamat pendidikan, ketentuan UU ini telah mereduksi makna guru dan sekolah. Menjadikannya sekadar institusi (orang) yang bisa melakukan perbuatan hukum. Bukan sebagai suatu komunitas tempat berlangsungnya proses budaya dan pemanusiaan manusia dimana guru ambil bagian sebagai pembawa lilinnya. "Jika ini dibiarkan, akan terjadi suatu praksis pendidikan yang kaku". [18]

2.3 Catatan dan Gagasan Kedepan UU BHP Dari Perspektif Politik Hukum

Bertolak dari beberapa pasal krusial di atas, tampaklah bahwa kontroversi di tengah masyarakat tentang kehadiran UU BHP merupakan hal yang wajar. Hal ini dikarenakan ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, penulis berusaha melakukan beberapa catatan dan gagasan kedepan terhadap UU BHP, khususnya pasal-pasal kontroversial.

Sebenarnya dukungan dan penolakan terhadap suatu produk hukum bukan hanya terjadi pada UU BHP, melainkan hampir keseluruhan produk hukum di Indonesia mengalaminya, seperti : UU Pornografi, UU Mahkamah Agung. Mengutip pendapat Moh. Mahfud MD, bahwa konfigurasi politik suatu negara berpengaruh kuat terhadap produk hukumnya.[19]

Ia membagi konfigurasi politik menjadi dua yaitu demokratis dan otoriter. Konfigurasi Demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka peluang bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Konfigurasi otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara.[20]

Lebih lanjut, kedua konfigurasi politik ini memberikan pengaruh terhadap produk hukum yang dilahirkan oleh negara. Konfigurasi politik demokratis akan melahirkan produk hukum responsif dan konfigurasi politik otoriter akan melahirkan produk hukum represif. Hukum responsif adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Hukum represif adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik.[21]

Kembali pada UU BHP, khususnya beberapa pasal yang menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat, penulis tidak dapat langsung menarik kesimpulan, bahwa pasal-pasal tersebut tidak responsif. Apakah penolakan oleh beberapa kalangan dapat dijadikan indikatornya?

Aneh memang, proses pembentukan UU BHP dari perspektif politik hukum telah berjalan demokratis. Dimana, UU BHP ini telah dibahas dalam berbagai kesempatan dengan berbagai kalangan yang terkait . Logikanya, seharusnya pengesahan UU BHP ini tidak akan terjadi penolakan, karena telah bersifat responsif. Namun faktanya, UU BHP justru dianggap produk hukum represif atau menekan rakyat.

Dalam hal ini penulis mengkajinya bukan dari politik hukum pembentukannya, melainkan dari hasil konkritnya yaitu pasal-pasal UU BHP tersebut, khususnya pasal kontroversial. Penulis berpendapat, permasalahan utama munculnya penolakan UU BHP adalah ketidakseluruhan kalangan khususnya masyarakat yang mengetahui pasal-pasal UU BHP tersebut, mereka hanya mendengar isu yang simpang siur tentang pengesahan UU BHP akan meningkatkan biaya operasional pendidikan.

Berdasarkan pasal-pasal krusial yang diuraikan sebelumnya, dimulai dari pendapat yang pro dan kontra, maka penulis berpendapat kehadiran UU BHP tidak perlu ditolak, melainkan hanya diberikan catatan dan gagasan demi penyempurnaan UU BHP tersebut. Seiring dengan pelaksanaannya nanti, akan kita temukan kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU BHP dan bisa dilakukan revisi.

UU BHP disahkan oleh pemerintah dengan tujuan memberi peluang otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah serta otonomi pada pendidikan tinggi ( pasal 3). Pasal 3 ini telah sesuai dengan arah kebijakan politik hukum Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, namun strategi yang ditempuh oleh pemerintah pada pasal berikutnya justru belum bisa meyakinkan beberapa kalangan akan bisa terlaksana. ( lihat uraian pasal-pasal krusial).

Pasal 55 tentang SDM Pendidikan juga ditakuti oleh beberapa kalangan khususnya pendidik mengenai status mereka nantinya. Arah kebijakan politik hukum ingin memperjelas status kepegawaian untuk mencapai kinerja pendidikan. BHP dituntut dapat menjamin mutu dan kualitas pendidikan serta mampu memberikan pelayanan terbaik pada pemangku kepentingan pendidikan melalui prinsip mutu dan layanan prima.

Kita harus menyadari, UU bukanlah suatu yang sakral, yang tidak boleh diubah. UU yang baik adalah UU yang sesuai dengan kondisi sosial psikologis budaya masyarakat. Selanjutnya, perlu disadari UU akan berjalan efektif, jika masyarakat tidak merasa tertekan akan kehadiran UU tersebut.

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasal-pasal krusial UU BHP meliputi : Pasal tentang pendanaan BHP, BHP dikaitkan dengan perpajakan dan status hukum pendidik dan tenaga kependidikan. Ketentuan ini dianggap pasal yang menakutkan bagi beberapa kalangan, karena cacat ideologis atau bertentangan dengan kondisi sosial psikologis budaya masyarakat. Misal : Pasal pendanaan, diperkirakan akan memberikan efek negatif dengan biaya pendidikan yang mahal.

2. Arah kebijakan politik hukum pembentukan UU BHP adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini adalah tujuan mulia yang ingin diwujudkan oleh pemerintah, namun ada beberapa pasal justru menjadi bumerang oleh pemerintah sendiri. Pasal krusial tersebut dipandang sebagai pasal yang justru akan mengacaukan dunia pendidikan. Pasal krusial ini dianggap tidak responsif, melainkan represif atau menekan rakyat.


3.2 Saran

Adapun saran sebagai berikut :

1. Agar para pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung menerima kehadiran UU BHP sebagai salah satu upaya untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia. Namun, seiring pelaksanaan UU BHP tetap memberikan sebuah catatan dan gagasan kedepan demi penyempurnaannya, sehingga UU BHP menjadi produk hukum responsif.

2. Agar pemerintah tetap berupaya mau menerima kritik dan masukan dari berbagai kalangan demi penyempurnaan UU BHP khususnya dan mencerdaskan kehidupan bangsa umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta : PT. Ghalia Indonesia

---------------, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia : Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Ghalia Indonesia

Afan Gaffar, 1992, Pembangunan Hukum dan Demokrasi, dalam Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta : UU Press

Didi Nazmi, ” Undang-Undang BHP Kapitalisai Pendidikan ?” ( Suatu Catatan Kritis), Makalah sebagai pokok-pokok pikiran disampaikan sebagai masukan dalam Acara Sosialisasi UU BHP Di Universitas Andalas, 6 Januri 2009

Imam Syaukani Dan A. Ahsin Thohari, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Jayadi Damanik, et.al, 2005, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan, Komnas HAM, Jakarta

M. Solly Lubis, 1992, Serba- Serbi Politik Hukum, Bandung : Mandar Maju

Miyasto, 1997, Sistem Perpajakan Nasional dalam Era Ekonomi Global, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang

Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia

Mulyana Kusumah, 1986, Perspektif Teori Dan Kebijaksanaan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers

Philippe Nonet dan Philip Selznich, 1978, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Newyork : Harper & Row

Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung : PT. Alumni

Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Kanisius

Media Massa dan Internet

Media Indonesia, Selasa 24 Januari 2009

Media Indonesia, Sabtu 28 April 2008

Kompas, 18 Desember 2008

Kompas, Kamis 26 Februari 2009

http://www.fpks-dpr.or.id//op=isi&id=6547&kunci=26, diakses tanggal 5 Januari 2009

http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTkyODY=, diakses tanggal 4 Februari 2009

http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NjEyNjE=, diakses tanggal 17 Februari 2009

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia



[1] Dosen Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang, email: romi_law@yahoo.com

[2] Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang, email: vivin_nissa@yahoo.co.id

[3] http://www.fpks-dpr.or.id//op=isi&id=6547&kunci=26, diakses tanggal 5 Januari 2009



[4] http://www.fpks-dpr.or.id//op=isi&id=6547&kunci=26, diakses tanggal 5 Januari 2009

[5] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

[6] http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTkyODY=, diakses 5 Januari 2009

[7] Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan

[8] Media Indonesia, 2 Desember 2008

[9] Imam Syaukani dan A.Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, Hal. 70

[10] Ibid, Hal.71

[11] Ibid, Hal.59

[12] http://www.fpks-dpr.or.id/?op=isi&id=6547&kunci=26, diakses 5 januari 2009



[13] Didi Nazmi, UU BHP Kapitalisasi Pendidikan? ( Suatu Catatan Kritis), Makalah disampaikan sebagai masukan acara sosialisasi UU BHP di Lingkungan Universitas Andalas, 6 Januari 2009

[14] Ibid

[15] Ibid

[16] Kompas, 26 Februari 2009

[17] Kompas, 26 Februari 2009

[18] Didi Nazmi, Op cit

[19] Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, Hal. 25

[20] Ibid

[21] Ibid

sumber : http://fhuk.unand.ac.id/artikel/20/uu-bhp-ditinjau-dari-perspektif-politik-hukum--sebuah-catatan-dan-gagasan-.html

HUBUNGAN PIH DAN PHI

Hubungan antara PIH dan PHI ;
Pengantar Ilmu Hukum adalah dasar untuk mengetahui Tata Hukum di Indonesia (Pengantar Ilmu Hukum Indonesia) yang ada di Indonesia.

PERBEDAAN ANTARA PIH DAN PHI
Perbedaan antara PIH dan PHI dapat dilihat dari segi objyeknya yaitu PHI berobyek pada hukum yang sedang berlaku di masa sekarang, sedangkan obyek PIH aturan tentang hukum pada umumnya tidak terbatas pada aturan hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu.

PERSAMAAN ANTAR PIH DAN PHI
Baik PIH maupun PHI sama sama merupakan mata kuliah dasar keduanya merupakan mata kuliah yang mempelajari hukum.
PIH mendukung atau menunjang kepada setiap orang yang akn mempelajari hukum positif indonesia ( tata hukum indonesia ).
PIH menjadi dasar dari PHI yang berarti bahwa untuk mempelajari hukum positif indonesia atau tata hukum indonesia harus belajar PIH terlebih dahulu.

HAKIKAT DARIPADA PENGANTAR ILMU HUKUM
PIH merupakan suatu pelajaran yang menjadi pengantar dan penunjuk jalan bagi siapapun yang ingin mempelajari ilmu hukum, yang ternyata sangat luas ruang lingkupnya.Mereka tidak akan memahami dengan baik mengenai berbagai cabang ilmu tanpa menguasai mata pelajaran PIH terlebih dahulu.
Sebagai suatu mata pelajaran PIH memberikan dan menanamkan pengertian dasar mengenai arti, permasalahan dan persoalan persoalan di bidang hukum sehinggaia menjadi mata pelajaran utama yang harus di kuasai oleh mereka yang ingin mendalami ilmu hukum.
PIH memberikan gambaran gambaran dan dasar yang jelas`mengenai sendi sendi utama hukum itu sendiri. Berbeda dengan cabang cabang ilmu hukum lainya, maka PIH mempunyai cara pendekatan yang khusus ialah memberikan pandangan tentang hukum secara umum.

Karena PIH merupakan mata pelajaran dasar, maka bagi mereka yang ingin mempelajari ilmu hukum harus menguasai mata pelajaran PIH terlebih dahulu. Tanpa penguasaan PIH mereka akan mendapatkan kesulitan atau kegagalan.
RUANG LINGKUP PEMBAHASAN OLEH PIH
Dari judul pengantar ilmu hukum terlihat bahwa yang menjadi obyek PIH adalah ilmu hukum.

Materi yang di bahas oleh PIH dapat di bagi dalam:
A. HUKUM SEBAGAI OBYEK ILMU HUKUM
Sebagai obyek ilmu hukum memandang hukum dalam bentuk segala manifestasinya. Disini harus tertuang segala pertanyaan pertanyaan yang ber sangkut paut dengan hukum misalnya:
- Apakah hukum itu
- Apakah tujuan hukum itu
- Bagaimanakah hukum itu terbentuk
- Apakah sumber sumbernya
- Bagaimanakah sistem dan klasifikasinya
- Dan sebagainya

B. ILMU HUKUM SEBAGAI NORMA HUKUM
a. Hukum sebagai kaidah hukum
b. Kaidah hukum dan kaidah lainya
C. ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

a. Subyek hukum
b. Obyek hukum
c. Peristiwa hukum
d. Perbuatan hukum
e. Hubungan hukum
f. Masyarakat hukum

D. ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN
a. Antropologi hukum
b. Sosiologi hukum
c. Sejarah hukum
d. Psikologi hukum
e. Perbandingan hukum

PERAN DAN FUNGSI PIH
- Memberikan introduksi atau memperkenalkan segala masalah yang berhubungan dengan hukum.
- Berusaha untuk menjelaskan keadaan, inti, maksuud dan tujuan dari bagian bagian yang penting daripada hukum serta bertalian antara berbagai bagian tersebut dengan ilmu pengetahuan hukum.
- Memperkenalkan ilmu hukum, yaitu pengetahuan yang mempelajari segala seluk beluk daripada hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya.
- Merupakan dasar dalam rangka studi hukum. Tanpa memahami pengantar ilmu hukum secara tuntas dan seksama tidak akan dapat di peroleh pengertian yang baik tentang berbagai cabang ilmu hukum. Dengan demikian sudah tepatlah apabila pengantar ilmu hukum juga bisa di namakan “ basis leervak “ atau mata kuliah dasar daripada pelajaran hukum.
- Mengkualifikasi mata pelajaran, pendahuluan, pembukaan ke arah ilmu pengetahuan hukum pada tingkat persiapan.

BUKTI BUKTI PENTINGNYA PERAN DAN FUNGSI PIH
Bukti bukti bahwa PIH mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting bagi mereka yang ingin mempelajari ilmu hukum, dapat dilihat dari berbagai segi:
•Dari segi sejarahnya PIH di ajarkan di perguruan tinggi di berbagai negara. Di jerman PIH di ajarkan sebagai “ einfuhrung in die rechswissenchaft “. Onderwijs wet ( undang undangperguruan tinggi ) di negara belandapada tahun 1920 memasukkan pengantar ilmu hukum di perguruan tinggi hukum dengan istilah “ inleiding tot der rechwetenschap “ sebagai pengganti dari “ Encyclopaedie der rechwetenschap “.
•Di indonesia inleiding tot de recwetwnscahp di jadikan kurikulum oleh recht hoge school ( sekolah tinggi hukum ) yang didirikan di batavia ( jakarta ) pada tahun 1942.
•Pada waktu universitas gajah mada berdiri pada tanggal 3 maret 1946 untuk pertama kalinya di pergunakan istilah pengantar ilmu hukum yang merupakan terjemahan dari inleiding tot de rechwetenschap dan sampai sekarang di jadikan mata kuliah dasar di semua perguruan tinggi di indonesia.
•Adanya surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan tanggal 30 desember 1973 No. 0198/U/1973 yang intinya menyebutkan bahwa di tingkat permulaan fakultas hukum negeri maupun swasta, mata kuliah pengantar ilmu hukum ini harus di cantumkan dalam kurikulumnya sebagai satu satunya mata kuliah yang langsung berhubungan dengan ilmu hukum.
•Menurut keputusan kopertis ( Koordinator perguruan tinggi swasta ), pengantar ilmu hukum merupakan mata kuliah ujian negara.
•Dalam rangka sistem kredit semester ( SKS ) mata kuliah ilmu hukum bobot SKSnya (4 SKS ) lebih besar dari cabang iilmu lainya.

KESIMPULAN:
-Hubungan antara PIH dan PHI ialah PIH adalah dasar atau asas untuk dapat memahami PHI
-PIH adalah sebagai pengantar untuk dimana memahami ilmu ilmu tentang hukum yang ada dalam PHI
-PHI adalah asas asas hukum indonesia
-PIH adalah asas asas hukum secara umum